Korban Tidak Sadar, Pelaku Makin Barbar!

Korban Tidak Sadar, Pelaku Makin Barbar!

Tidak banyak yang sadar kalau ternyata mereka adalah korban kekerasan finansial dalam rumah tangga. Apa ciri-ciri dan bagaimana cara mengatasinya?

Simak jawaban dari para perencana keuangan di berita Finansialku di bawah ini!

 

Rubrik Finansialku

 

Apa Itu Kekerasan Finansial?

Mayoritas, baik perempuan atau pun laki-laki, tidak ada yang menyadari kalau mereka sedang menjadi korban kekerasan finansial dari pasangan masing-masing.

Bahkan, mereka mungkin tidak menyadari ada istilah yang tepat untuk mewakili keadaan mereka.

Kekerasan dalam rumah tangga, lumrah dimengerti sebagai sebuah tindak kekerasan yang dilakukan secara fisik oleh salah satu di antara pasangan menikah.

Padahal bentuk kekerasan tidak hanya terbatas pada aksi melukai fisik, tapi juga mental, salah satunya kekerasan finansial ini.

Bentuk kekerasan finansial memang tidak terlihat, seperti bentuk kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya.

[Baca Juga: VIDEO: Apa Saja Penyebab Konflik Masalah Keuangan Keluarga?]

 

Kekerasan finansial sendiri, dalam sebuah penelitian di University of Wisconsin-Madison, didefinisikan sebagai:

“Pengendalian kemampuan wanita untuk memperoleh, menggunakan, dan memelihara sumber daya ekonomi.”

Dari definisi tersebut, kita bisa juga mengartikan kekerasan finansial sebagai bentuk kekerasan menghalang-halangi pasangan untuk bersikap produktif dengan berbagai alasan yang tidak bisa dibenarkan.

Aksi ini, tidak jauh berbeda dengan bentuk kekerasan perundungan, di mana sang pelaku biasanya merasa lebih berkuasa dibandingkan korbannya.

Kekerasan finansial ini sendiri sudah dicantumkan dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Dalam Undang-Undang tersebut, ada empat jenis kekerasan yang dilarang dilakukan, di antaranya adalah:

  • Kekerasan fisik
  • Kekerasan psikis
  • Kekerasan seksual
  • Penelantaran rumah tangga

 

Dalam penjelasan lebih lanjut, kekerasan finansial, menjadi salah satu kekerasan yang termasuk ke dalam penelantaran rumah tangga.

Karena dalam pasal 9 ayat (2), disebutkan bahwa:

“Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

 

Pendefinisian di atas jelas merujuk pada kekerasan finansial, di mana si korban berubah menjadi burung dalam sangkar, yang bergantung pada sang tuan.

Sayangnya, tidak banyak yang tahu dan bahkan tidak mau mengakui kalau mereka adalah korban kekerasan finansial, dengan berbagai alasan yang membuntuti.

Padahal, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan Indonesia tahun 2017, jumlah kekerasan ekonomi pada tahun itu sebanyak 978 kasus.

Untuk diingat, angka tersebut adalah jumlah kasus yang dilaporkan. Ya, jumlah tersebut, tidak termasuk dengan jumlah kasus yang tidak dilaporkan.

 

Bentuk Kekerasan Finansial Dalam Keluarga

Di bawah ini, adalah beberapa bentuk kekerasan finansial yang mungkin, tidak disadari, sedang Anda alami sekarang ini:

 

#1 Tidak Diizinkan Punya Penghasilan Sendiri

Bentuk pertama, yang sering jadi bahan romantisasi sebelum menikah adalah, tidak mengizinkan pasangan (baik suami atau istri) untuk mendapatkan penghasilan sendiri.

Ini artinya, penghasil keuangan dari keluarga, hanya satu pihak saja.

Apakah Anda merasa familiar dengan kalimat ini?

“Setelah menikah nanti, aku ingin kamu jadi Ibu Rumah Tangga, mengurusi anak kita, biar aku yang mencari nafkah untuk keluarga kita.”

Sebelum menikah, semua perempuan pasti barang satu kali, pernah mendengar ungkapan yang terasa romantis ini dilontarkan oleh pasangan.

Padahal, ini tidak terdengar romantis sama sekali, melainkan bibit kekerasan finansial yang bakal terjadi setelah menikah.

Ungkapan tersebut tidak bisa dibenarkan. Kenapa? Karena:

  • Perempuan atau laki-laki berhak menjadi apapun yang dia mau.
  • Mengurus anak, bukan cuma tugas perempuan, tapi juga laki-laki. Ini tugas kedua orang tua. Bukan cuma salah satunya. Memiliki anak adalah kesepakatan bersama, kenapa bebannya dijatuhkan pada satu pihak saja?
  • Pun apabila perempuan memilih untuk menjadi Ibu Rumah Tangga, tidak lantas membuat laki-laki terbebas dengan kewajiban mengurus anak dan rumah, begitu pula sebaliknya. Dua-duanya punya kewajiban yang sama.

 

Meski begitu, sebenarnya, ini bukanlah hal yang dilarang. Masing-masing pasangan punya kebebasan atas kesepakatan kewajiban masing-masing, hingga penghasil uang dalam keluarga.

Semua itu bukan jadi sebuah masalah. Dengan catatan, semuanya atas dasar kesepakatan bersama.

Pada permasalahan penghasil uang dalam keluarga, dalam hubungan yang sehat, baik suami atau istri, lazimnya punya kebebasan dan hak yang sama untuk punya penghasilan sendiri.

Tidak ada yang mewajibkan kalau suami harus jadi tulang punggung keluarga, pun sebaliknya.

Tapi, cerita menjadi berbeda apabila kondisi keuangan keluarga dalam level yang buruk bahkan kekurangan, atau ada masalah finansial dalam keluarga lainnya, tapi pasangan melarang Anda untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Kasus ini banyak ditemui dalam kehidupan rumah tangga. Di mana suami melarang istri untuk bergerak bebas, termasuk bersikap mandiri dengan punya penghasilan sendiri baik dari pekerjaan ataupun bisnis sampingan.

Tapi meski begitu, bukan berarti suami tidak bakal mengalami hal yang sama. Ancaman ini berlaku untuk semua gender.

Sayangnya, dalam prakteknya, hal ini menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh banyak pasangan, bahkan agaknya menjadi sebuah sistem yang wajib dianut.

 

#2 Memaksa Pasangan Untuk Bekerja

Kasus ini sama seperti kasus pertama. Tapi bedanya, salah satu dari pasangan tersebut memaksa pasangannya yang lain untuk bekerja, sementara dirinya tidak bekerja, sekaligus mengontrol keuangan keluarga seratus persen.

Lagi, kasus ini banyak dialami oleh perempuan. Di mana suami mereka cenderung memaksa untuk mencari uang, sementara sang suami tinggal menerima dan mengatur semua pergerakan keuangan.

Bukan bermaksud untuk mendiskreditkan satu kaum atau bahkan satu agama, tapi banyak perempuan yang merasa terjebak dalam kasus ini, karena sang suami biasanya membawa nama agama dan dosa.

Apabila istri mulai berontak atau tidak bergerak sesuai dengan keinginannya, mereka cenderung membawa agama sebagai tameng perlindungan, dan menuduh istri sebagai istri yang berdosa, karena tidak taat pada suami.

Ini yang akhirnya membuat istri cenderung pasrah, dan lagi-lagi, menjadi budak untuk suami mereka sendiri.

Ini memang benar adanya, dalam Surah An-Nisa ayat 34, Allah berfirman:

“Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian mereka yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah meanfkahkan harta mereka. Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki.”

 

Tapi, dalam tafsirannya, dikutip dari laman republika.co.id, istri harus mengikuti aturan atau pun nasihat yang berhubungan dan tidak melenceng dari apa yang sudah diajarkan dan diperintahkan Allah SWT.

Mengikuti ucapan suami, juga bukan semata-mata karena suami, tapi karena diperintahkan oleh Allah.

Maka, dengan tafsiran mengenai Surah An-Nisa ayat 34, istri memang diharuskan untuk menaati suami, tapi untuk semua perintah-perintah yang diturunkan Allah SWT dalam firman-Nya.

Bukan sesuatu yang memang tidak diperintahkan, bahkan tidak disukai Allah SWT, seperti contoh di atas.

Lagi pula, bukan cuma istri yang punya kewajiban untuk memuliakan suami, tapi juga sebaliknya. Suami harus memuliakan istri.

Salah satu firman Allah SWT, mengenai kewajiban suami untuk memuliakan istri, tercantum dalam tafsir Al-Hafidz Ibnu Katsir yang berbunyi;

“…Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan.”

 

Ini mengindikasikan dengan jelas kalau suami juga punya kewajiban untuk memuliakan istri, bukan hanya menuntut istri untuk taat kepadanya sementara dia berbuat kasar terhadap istri mereka.

Meski yang dicontohkan adalah kasus istri yang teraniaya, bukan berarti laki-laki atau suami, terbebas dari kemungkinan menjadi korban kekerasan finansial satu ini.

Laki-laki biasanya hanya tidak menyadari perilaku kekerasan finansial, karena terlalu sering terjadi, atau bahkan menjadi sebuah kelaziman dalam rumah tangga.

Misalnya, seorang istri yang menuntut sang suami untuk terus bekerja dan bekerja, karena penghasilan suami yang dirasanya kurang.

Sebanyak apapun pekerjaan suami, sekeras apapun suami bekerja setiap harinya, hal itu tidak terlihat bahkan tidak dihargai oleh sang istri.

Finansialku yakin, kasus ini sudah banyak terjadi di kehidupan sehari-hari.

 

#3 Menutup Akses Keuangan Bersama

Akses keuangan bersama, yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban bersama, ditutup secara sepihak. Terasa familiar?

Ini terjadi ketika rekening bank, investasi, surat bukti kepemilikan aset, atau surat-surat penting lainnya, disembunyikan keberadaannya atau bahkan Anda tidak diberitahu sama sekali.

 

#4 Memberikan ‘Jatah’ yang Terbatas

Ini berhubungan dengan poin nomor satu. Ketika ada masalah finansial dalam keluarga, tapi salah satu dari pasangan melarang bekerja.

Akibat dari ini, biasanya adalah pasangan yang melakukan kekerasan finansial, memberikan ‘jatah’ untuk kehidupan sehari-hari dengan nominal yang terbatas, bahkan kurang.

Meski begitu, Anda sama sekali tidak diperbolehkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Salah satu alasannya, tentu karena mereka ingin Anda tetap bergantung secara finansial terhadap mereka, dan menjadikan Anda tidak berdaya, tanpa sokongan dari mereka.

Umumnya, bentuk kekerasan satu ini terjadi pada perempuan, yang membuat gerak mereka terbatas.

Karena apabila mereka mulai berontak, maka ada kekhawatiran tidak dapat menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya.

[Baca Juga: Sudahkah Kamu Lontarkan Pernyataan Sebelum Menikah Ini?]

 

Akhirnya, mau tidak mau, dia harus tetap bertahan meski jiwanya mulai tertekan.

Ini bukan hanya terjadi pada seorang istri, tapi juga suami.

Rista Zwestika Reni S.Sos. CFP, perencana keuangan dari Finansialku memberikan contoh kecil kekerasan finansial yang tidak disadari oleh korban maupun pelakunya.

Seperti seorang istri yang mengontrol pendapatan suami, dengan memberikan uang saku setiap minggu.

Tujuannya tentu agar lebih hemat. Ini bukan menjadi masalah. Tapi akan jadi masalah apabila sang istri mulai melarang suami untuk mengambil uang atau menghabiskan uang untuk keperluan lain.

“Tetapi ketika istri sudah mulai melarang suaminya untuk menarik uangnya untuk keperluan lain, seperti memberi nafkah kepada orangtuanya, buat me time dan keperluan lainnya, maka hal tersebut termasuk dalam kekerasan finansial.” Kata Rista, perencana keuangan untuk pasangan menikah.

 

#5 Mengontrol Keuangan dan Tidak Mengizinkan Pasangan untuk Mengeluarkan Uang

Ini terjadi ketika pasangan terlalu ketat dalam mengontrol keuangan, bahkan cenderung pelit terhadap Anda.

Bukan cuma itu, biasanya, mereka menghabiskan uang dengan nominal yang besar, tapi tidak mengizinkan Anda untuk melakukan hal yang sama.

Ini banyak terjadi di kehidupan pernikahan masyarakat Indonesia. Di mana masalah finansial dalam keluarga adalah, ketidakmampuan salah satu di antaranya untuk melakukan pemberontakan dan menyelamatkan diri mereka sendiri karena terlalu bergantung secara finansial pada pasangan mereka.

 

#6 Mengajukan Utang Atas Nama Pasangan, dan Menggunakan Harta Milik Pasangan Tanpa Kesepakatan

Berapa persen di antara Sobat Finansialku mengalami hal ini? Dengan terpaksa mengizinkan namanya digunakan untuk mengajukan pinjaman, bahkan tanpa persetujuan dari pemilik nama itu sendiri?

Lalu, berapa persen dari Sobat Finansialku yang tidak mengetahui apa saja yang dilakukan pasangan terhadap harta milik berdua?

Ini kekerasan finansial paling normal lainnya, yang banyak ditemui, di mana, lagi-lagi, sang korban dibuat tidak berdaya dan mau tidak mau terus bergantung pada mereka secara Finansial.

 

#7 Mengabaikan Kebutuhan Dasar

Pelaku, atau yang melakukan kekerasan finansial, biasanya tidak peduli akan kebutuhan dasar keluarga, tapi menuntut si korban untuk melakukan hal yang banyak dan tidak memungkinkan.

Bentuk kekerasan ini terjadi ketika salah satu pasangan menuntut Anda untuk menggunakan pakaian yang lebih pantas, padahal mereka tidak memenuhi kebutuhan Anda yang satu ini.

Atau juga, terjadi ketika pasangan Anda menuntut banyak soal makanan, ingin makan ini itu, tapi lagi-lagi, tidak ada itikad untuk berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.

 

#8 Memutuskan Sendiri

Terakhir, adalah, tidak menghargai pasangan sebagai partner bertukar pendapat. Keputusan finansial yang bentuknya besar atau pun kecil, tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan pasangan masing-masing.

Salah satu alasan yang paling banyak dilontarkan adalah, karena pasangan tidak punya ilmu finansial, atau karena apabila diceritakan pun, Anda tidak akan bisa mengerti konteksnya.

Ini bukan cuma kekerasan finansial, tapi juga bentuk perundungan, di mana pelaku menganggap kalau korban tidak punya kemampuan untuk melakukan apapun.

 

Apa Penyebabnya?

Penyebab dari kekerasan finansial ini bermacam-macam, Rista Zwestika, perencana keuangan finansialku, memberikan beberapa contoh kecil dari akar atau penyebab kekerasan finansial yang banyak terabaikan.

“Karena masih banyak sekali yang tidak mengetahui tentang kekerasan finansial ini maka bisa dipastikan hal-hal yang menjadi latar belakangnya adalah rasa sayang yang berujung rasa protektif yang sangat tinggi.” Katanya.

Contohnya, ketika sang suami yang tidak tega melihat istri kelelahan ketika pulang kerja.

Tidak ingin istri kelelahan, akhirnya sang suami meminta sang istri untuk diam di rumah, mengurus rumah tangga dan anak, sementara dia yang menjadi kepala keluarga tunggal.

Tapi dalam kasus kekerasan finansial ini, kenyataannya, si suami malah tidak memenuhi kebutuhan istri secara utuh.

Ditambah lagi, semua keuangan keluarga, diatur oleh suami.

“Nah, istri karena takut ditinggal, mau tidak mau mengikuti semua aturan yang diberlakukan oleh suami.” Ungkap Risa.

Contoh kasus lainnya, adalah ketika sang istri memutuskan untuk menjadi bendahara keluarga, dengan alasan agar bisa menghemat pengeluaran keluarga.

“Istrinya yang bilang, sayang sepertinya tujuan keuangan kita banyak deh, ada baiknya aku yang atur keuangan dan kamu yang cari nafkah, terus nanti biar tidak boros, aku kasih kamu sesuai dengan yang kamu butuhkan aja sehari-hari. Nah semua berawal dari rasa sayang, yang akhirnya jadi mengatur dan mengontrol secara berlebihan.” Papar Risa.

GRATISSS Download!!! Ebook Panduan Cara Mengatur Keuangan yang Benar Untuk Ibu Rumah Tangga

 

Bentuk afeksi memang sebuah perasaan yang kadang disampaikan dengan cara yang abstrak dan bermacam-macam.

Tapi, untuk diingat, apapun bentuknya, sebuah afeksi, punya efek samping yang membuat kita memproduksi hormon endorphin.

Jadi, mari kita melakukan refleksi bersama-sama. Apakah bentuk refleksi yang Anda terima selama ini, membuat Anda bahagia?

 

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Rista Zwestika Reni S.Sos. CFP, membangi sedikit tips cara mengatasi kasus kekerasan finansial ini untuk Anda yang merasa sedang berada dalam satu keadaan yang serupa.

Rista mengatakan, sebenarnya satu-satunya langkah efektif yang bisa dilakukan adalah dengan berani bilang tidak atas perlakuan-perlakuan merugikan yang diterima.

“Sebenarnya langkah efektifnya adalah berani bilang TIDAK atas perlakuan-perlakukan yang erat kaitannya dengan kekerasan finansial, karena kalau kita hanya diam dan mengikuti semua yang dilakukannya maka kerugian besar yang akan kita alami.” Katanya.

[Baca Juga: MONEY CONVERSATION – Terbuka Soal Keuangan Saat Pacaran]

 

Selain itu, agar tidak ada lagi korban selanjutnya, bagi pasangan yang baik yang belum atau yang sudah menikah, Rista mengatakan, harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini:

  • Paham hukum pernikahan, karena semuanya sudah diatur dalam hukum tersebut, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk di dalamnya adalah kekerasan finansial.
  • Masing-masing pasangan punya tabungan sendiri.
  • Sebelum menikah, ada baiknya, masing-masing harus mandiri secara finansial, agar kedudukannya sejajar.
  • Komunikasikan semuanya di awal sebelum mulai hidup bersama. Harus ada kesepakatan dan transparasi di awal.
  • Membicarakan dengan baik-baik. Apabila tidak mungkin bisa dibicarakan, maka Anda harus berani memutus hubungan toksik tersebut dengan keluar dari hubungan.

 

Akan lebih baik, apabila sebelum menikah atau sesudah menikah, Anda mengonsultasikan masalah finansial keluarga ini kepada orang yang lebih mengerti ilmu finansial.

Seperti misalnya perencana keuangan. Karena dengan melibatkan orang ketiga yang punya ahli di bidang tersebut, biasanya akan lebih mudah bagi Anda dan pasangan untuk menemukan jalan keluar dari masalah tersebut.

Ini tentu penting untuk menghindari masalah finansial keluarga yang lebih rumit, bahkan kekerasan finansial nantinya.

Anda bisa menghubungi Rista Zwestika Reni S.Sos. CFP, salah satu perencana keuangan yang fokus dalam masalah finansial keluarga untuk berkonsultasi.

Ada dua opsi yang bisa Anda pilih untuk menghubungi Rista Zwestika, yaitu secara langsung di sini atau melalui aplikasi Finansialku yang bisa diunduh lewat Google Play Store atau Apple Apps Store.

 

Apabila Anda berkonsultasi lewat aplikasi Finansialku, Anda bisa melakukan konsultasi kapan pun dan di mana pun secara GRATIS.

Ini bisa Anda nikmati dengan berlangganan premium sebesar Rp 350 ribu untuk satu tahun penuh.

Ini tentu jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan opsi pertama, yang mengharuskan Anda untuk mengeluarkan uang jutaan untuk satu kali konsultasi, ‘kan?

Belum lagi, jika Anda memasukkan kode CUAN50 saat berlangganan premium, Anda bisa menikmati potongan Rp 50 ribu langsung!

Jadi, tunggu apa lagi? Lebih baik konsultasikan sekarang dengan ahlinya langsung, sebelum semuanya terlambat.

 

Bagaimana dengan Anda? Apa Anda ternyata adalah korban kekerasan finansial atau malah pelakunya? Berikan komentar Anda pada kolom di bawah ini.

Bagikan juga artikel ini pada rekan-rekan Anda supaya semakin banyak orang tahu mengenai kekerasan finansial.

 

Sumber Referensi:

  • Admin. 28 Mei 2019. Kekerasan Finansial, Bentuk Baru KDRT yang Jarang Disadari. Ilovelife.co.id – https://bit.ly/2OiYybN
  • Annisa Sagita. 30 November 2018. Kekerasan Finansial dalam Rumah Tangga. Kumparan.com – https://bit.ly/302uZQZ
  • Erinintyani Shabrina Ramadhini. 13 Juli 2020. Jarang disadari! Ini gejala kekerasan finansial dalam rumah tangga. Id.theasianparent.com – https://bit.ly/328F3ux
  • Serenata Kedang. 17 Februari 2020. 4 Ciri Kekerasan Finansial dalam Rumah Tangga. Parenting.orami.co.id – https://bit.ly/3gTJEF8
  • Dinda Silviana Dewi. 12 Maret 2020. Tanda Kekerasan Finansial dalam Rumah Tangga dan Cara Mengatasinya. Tirto.id – https://bit.ly/2DsW6gr
  • Nabila Azmi. 17 September 2019. Tak Hanya Fisik, Kekerasan Finansial Juga Bisa Terjadi dalam Hubungan Anda. Hellosehat.com – https://bit.ly/3gXIF6R
  • Ila Abdulrahman. 17 Juni 2018. KDRT Finansial: Banyak yang Mengalami, Sedikit yang Menyadari. Finance.detik.com – https://bit.ly/3gXIUih
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dpr.go.id – https://bit.ly/3gTPeXS
  • Zahrotul Oktaviani. 24 Maret 2020. Nasihat Kewajiban Istri dalam Alquran dan Hadist Rasulullah. Republika.co.id – https://bit.ly/3iVvJjF
  • Admin. 13 Juli 2020. 17 Keutamaan Memuliakan Istri yang Wajib Diketahui. Dalamislam.com – https://bit.ly/2Cw0jzq

 

dilema besar