Tips Mengasuh Anak dalam Pernikahan Campur

Tips Mengasuh Anak dalam Pernikahan Campur

Tips mengasuh anak untuk orang tua dengan latar belakang budaya berbeda ini penting diketahui.

Ketahui selengkapnya di artikel Finansialku di bawah ini.

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

Magdalene.co

 

Tips Mengasuh Anak dalam Pernikahan Campur

Pernikahan Dian Mariana dengan suaminya, seorang pria asal Amerika Serikat, telah berjalan tujuh tahun. Namun ia mengakui, masih banyak penyesuaian yang dilakukan akibat latar belakang dan budaya yang berbeda, terutama dalam hal pengasuhan anak.

“Ya gesekan selalu ada, karena pola asuh anak yang berbeda antara di sini sama di Amerika. Budaya suami itu mengharuskan anak supaya mandiri dan mau usaha kalau dia ingin sesuatu. Contoh kecilnya, masalah anak harus tidur sendiri. Kan di Indonesia mana boleh sih anak bayi tidur sendiri, apalagi mamanya harus menyusui.” Kata perempuan berusia 33 tahun kepada Magdalene.

Selain itu, karena ada dua bahasa di rumah, anak laki-lakinya memerlukan waktu lebih lama untuk berbicara, sampai akhirnya Dian memutuskan untuk mengajarkan satu bahasa dulu kepada sang anak, yaitu bahasa Inggris.

Dalam kedua keluarga besar pun tidak jarang ada gesekan akibat perbedaan pemahaman tentang cara mengasuh anak.

Tips Mengasuh Anak dalam Pernikahan Campur 02

[Baca Juga: 10 Kebiasaan Jelek Orang Tua yang Berdampak Buruk Pada Anak]

 

Ibu Dian kerap memberi pesan padanya agar tidak terlalu menerapkan pola pendidikan yang ‘kebarat-baratan’.

Padahal, menurutnya pola pengasuhan dan pendidikan yang ia terapkan merupakan kesepakatan antara suami dan dirinya.

“Dari pihak nenek dan kakek itu pasti ada aja yang dikomentari. Kita harus tetap set boundaries sih. Mungkin keluarga suami yang di Amerika biasanya sudah paham dan enggak begitu banyak ikut campur. Kalau orang Indonesia enggak bisa begitu, ya. Kalau saya larang anak buat nonton misalnya, sering kali dibolehin sama Omanya. Ya hal-hal begitulah.” Kata Dian.

Hal lain yang cukup kentara, menurut Dian, adalah penyebutan panggilan kehormatan seperti kakak and mas, atau bapak dan ibu, untuk orang yang lebih tua.

“Anak pernah nanya, sih, kenapa harus pakai kakak atau bapak, padahal di keluarga Ayahnya enggak usah. Tapi ya sebisa mungkin saya kasih pengertian, kalau hal-hal begitu penting di Indonesia.” Ujarnya.

 

Komunikasi Kunci Pengasuhan Anak dan Perkawinan Campuran

Ketua Umum Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca), Juliani W. Luthan, mengatakan bahwa selain masalah hukum seperti birokrasi izin menetap dan status administrasi anak, kesulitan-kesulitan dalam pola asuh anak yang tepat adalah isu yang umum oleh pasangan pernikahan campur.

Menurutnya, hubungan pernikahan dengan orang asing itu sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pernikahan orang Indonesia, semuanya membutuhkan kedewasaan dan kematangan.

Namun bedanya, pelaku pernikahan campur harus siap dengan konsekuesi menyatukan dua keluarga dengan latar belakang yang berbeda, ujarnya.

“Biasanya masalah umum yang dihadapi adalah sulitnya mengomunikasikan perbedaan-perbedaan budaya, kekesalan-kekesalan, karena merasa tidak dimengerti. Atau sulitnya menemukan titik temu karena kedua orang tua tidak sepaham dalam pengasuhan anak. Akhirnya, kadang anak jadi bingung dalam menghadapi kedua orang tuanya.” Ujar Juliani yang menikah dengan pria Jepang sejak tahun 1996.

Meski tidak mudah, ia mengatakan bahwa berbagai perbedaan dalam pernikahan campur hanya bisa diatasi dengan komunikasi yang baik.

03Tips Mengasuh Anak dalam Pernikahan Campur

[Baca Juga: Para Orang tua, Ini Dia Manfaat Menerapkan Literasi Keuangan Pada Anak]

 

Ketika memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, usahakan untuk mengomunikasikan segala sesuatu dari awal dengan jelas, mulai dari masalah agama, bahasa, pendidikan anak, pola pengasuhan, budaya yang mana yang harus anak tahu, sampai dengan masa depan anak.

“Kalau saya misalnya, dari awal sudah jelas bilang ke suami karena agama saya Islam, saya hanya mau berkeluarga kalau dia Muslim. Begitu pun anak saya, pasti akan saya ajarkan budaya sini, khususnya budaya Sumatera Barat.” Ujar Juliani.

Komunikasi yang jujur yang terbuka bisa membantu memetakan masalah-masalah yang dihadapi, ujarnya.

Anak juga harus diajak terlibat mencari solusi dalam diskusi yang terbuka dan hangat, ia menambahkan.

Dia sepakat mengenai pentingnya komunikasi yang jelas di awal tentang bagaimana membesarkan anak.

Menurutnya, kesepakatan dan pembicaraan yang jelas dari awal bisa mengurangi konflik-konflik lain karena perbedaan-perbedaan pandangan di masa depan.

Apalagi banyaknya perbedaan semakin membuat potensi berkonflik cukup besar.

“Jadi, kalau misalnya kita sepakat untuk memilih jalan A, jangan pas udah jalan, tiba-tiba jadinya berubah jadi B. Enggak bisa begitu, harus jelas. Sudah tahu, nih, budayanya beda, misalnya Timur sama Barat, mau ngebesarin anak sama pola pengasuhan yang mana? Kalau saya dan suami milih combine, yang sudah stick saja sama itu.” Tambah Dian.

Juliani mengatakan, membesarkan anak di tengah perbedaan budaya dan latar belakang mesti diikuti dengan penanaman nilai keberagaman yang kuat, bahkan sejak anak berusia sedini mungkin.

Sudah banyak pula penelitian yang menunjukkan jika anak dari hasil perkawinan campur lebih toleran menerima keberagaman.

Juliani mengatakan, pemahaman nilai keberagaman dan toleransi adalah dua hal yang fundamental.

Ia mencontohkan bagaimana mantan presiden AS Barack Obama yang lahir dan besar dengan budaya yang berbeda-beda, tumbuh dengan kekuatan karakter untuk lebih sensitif memahami masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat.

“Tidak ada cara yang paling benar dalam mendidik anak, tapi keberagaman, pengalaman dan toleransi itu yang terpenting.” Ujarnya.

banner -orang tua menyiapkan dana pendidikan anak

 

Beri Pemahaman Anak Soal Identitas

Tumbuh dan besar di tengah keluarga yang berbeda latar belakang dan budaya bisa jadi akan membuat anak mudah mengalami krisis identitas.

Apalagi saat ia mulai bermain dengan teman-teman sebayanya. Anak-anak dari pernikahan campur cenderung berpotensi mendapatkan stigma dan stereotip karena warna kulit atau mungkin fisiknya yang dianggap ‘berbeda’.

Karena alasan itu pula, menurut Juliani, memberi pemahaman anak untuk menerima identitasnya sebagai anak hasil perkawinan campur menjadi penting, sehingga anak bisa menempatkan dirinya di dua sisi tanpa merasa dirinya berbeda.

“Jangankan anak hasil perkawinan campur ya. Saya saja dulu waktu kecil merasa dikucilkan karena hitam. Bullying itu terjadi di mana-mana. Anak rentan mengalami identity crisis karena merasa berbeda dan dibedakan. Jadinya anak harus diajarkan untuk menerima itu dan menjadikan itu justru sesuatu yang memberinya kekuatan.” Ujar Juliani.

“Ini sebetulnya berlaku untuk semua keluarga, penting untuk memberi ruang pada anak untuk bercerita tentang pengalamannya dan menyampaikan pendapat kepada kita.” Tambahnya.

Kekhawatiran anak akan mengalami krisis identitas karena lingkunannya tumbuh berbeda juga sempat dialami oleh Dian, apalagi ia juga campuran etnis Maluku dan Cina.

Namun, ia yakin bahwa di mana pun nanti keluarga menetap, nilai keberagaman akan selalu ditemukan dan itu bisa menjadi kekuatan bagi mereka yang lahir dari pernikahan campur.

 

Apakah Sobat Finansialku punya tips mengasuh anak dari pernikahan campuran lainnya? Yuk, tuliskan di kolom komentar!

Jangan lupa untuk membagikan informasi ini kepada teman-teman atau anggota keluarga yang melakukan pernikahan campuran lewat pilihan platform yang tersedia di bawah ini, ya.

 

Artikel ini merupakan hasil kerja sama Finansialku.com dan Magdalene.co. Seluruh isi dan data yang tertera dalam artikel merupakan tanggung jawab Magdale.co.

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • https://bit.ly/3jCuczD
  • https://bit.ly/2NbX6L1
  • https://bit.ly/2LC9pj8

 

dilema besar