TBLA Ubah Klasifikasi Industri Ke Consumer Goods, Kenapa?

TBLA Ubah Klasifikasi Industri Ke Consumer Goods, Kenapa?

PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) mengalihkan klasifikasi industrinya menjadi consumer goods dan F&B. Apa ini upaya menaikkan harga saham?

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

 

Sekilas Tentang TBLA

Didirikan pada tahun 1973, TBLA tergabung dalam Sungai Budi Grup – salah satu perintis industri pertanian di Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1947.

TBLA pertama kali beroprasi pada tahun 1975 dan sejak saat itu telah berkembang menjadi salah satu produsen minyak goreng terbesar di Indoensia.

TBLA tercatat di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) pada tanggal 14 Januari 2000.

Tergabung dalam Sungai Budi Grup, pemegang saham mayoritas TBLA adalah PT Sungai Budi sebesar 28,08%, diikuti oleh PT Budi Delta Swakarya sebesar 27,18%.

Tetapi, peserta masih banyak sekali yang bingung terhadap pembuatan OA-nya.

Logo

TBLA tercatat tergabung dalam industri perkebunan, lebih tepatnya dalam bisnis kelapa sawit (CPO), dan gula.

Yang unik adalah, perusahaan ini tidak hanya memfokuskan bisnisnya ke bidang kelapa sawit saja. TBLA juga memiliki pos-pos pemasukan dari bisnisnya yang lain seperti gula, biodiesel, cooking oil, dsb.

Beberapa brand produk dari TBLA yang mungkin Anda kenal adalah merk Rose Brand, yang biasanya ada dalam kemasan minyak goreng atau tepung

 

Perubahan Klasifikasi Industri

TBLA telah tercatat di papan Bursa Efek Jakarta dari tahun 2000 dan sampai kurang lebih di waktu sekarang, tahun 2019, sebagai emiten yang termasuk bagian dari klasifikasi industri perkebunan.

Pengumuman tentang Perubahan Klasifikasi Industri Perusahaan tercatat no. Peng-00474/BEI.POP/09-2019 yang kemarin dirilis cukup mengagetkan dikarenakan adanya perubahan dari klasifikasi perusahaan ini.

TBLA masuk ke dalam klasifikasi baru yakni industri barang konsumsi/consumer goods. Memang, jika kita liat dari sumber pemasukan, mayoritas masih bersumber dari kelapa sawit.

Yang menarik adalah, di tengah kerontokan laba bersih emiten CPO lainnya seperti AALI (laba bersih -94% di semester I-2019 yoy), LSIP (laba bersih -95,3% di semester I-2019 yoy), TBLA malah membukukan laba sebesar Rp 359,13 milliar pada semester I-2019, meningkat 2,73% yoy.

Net profit AALI (2019 annualized). Source: Cheat Sheet Q2-2019

Net profit LSIP (2019 annualized). Source: Cheat Sheet Q2-2019

Net profit TBLA (2019 annualized). Source: Cheat Sheet Q2-2019

 

Lantas, mengapa di tengah penurunan harga kelapa sawit yang menyebabkan laba bersih emiten lain sangat tertekan, tetapi di kasus TBLA justru terjadi sebaliknya?

Ternyata, TBLA tidak hanya mengandalkan lini bisnis hulu-nya saja. Perusahaan ini ternyata fokus ke penjualan di downstream, seperti minyak goreng (Rose Brand), sabun, margarin, dan juga biodiesel.

Berdasarkan laporan keuangan di semester I-2019, pendapatan dari pabrik dan pengolahan kelapa sawit memang mengalami penurunan tipis 1,45% yoy.

Bandingkan dengan kenaikan pendapatan perusahaan yang fokus pada produksi gula.

Bisnis TBLA yang satu ini mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 14,5% yoy. Dari produksi gula ini saja, sudah menyumbang 31% dari total pendapatan.

 

Apakah Pemindahan Klasifikasi ke Consumer Goods akan Menguntungkan?

Harga CPO terus turun. Penurunan harga CPO sangat berimbas kepada perusahaan yang mayoritas pendapatannya bersumber dari sumber daya satu ini.

Ambil contoh LSIP dan AALI yang mencatatkan penurunan laba bersih mereka sampai lebih dari -90% pada semester I-2019 ini yoy.

Di kasus TBLA, pendapatan melalui produk gula sedang mengalami peningkatan. TBLA memang mengantisipasi penurunan harga CPO ini dengan meningkatan pendapatan melalui sektor lain, yakni pada bisnis produksi gula.

Hasilnya, di antara emiten yang bergerak di bidang kelapa sawit, TBLA adalah satu-satunya yang mencatatkan kenaikan laba bersih pada semester I-2019 kemarin.

Berpindahnya klasifikasi dari yang sebelumnya agribisnis ke Consumer Goods akan mempengaruhi sentimen dari emiten itu sendiri.

Tetapi, yang perlu dicatat adalah pemindahan klasifikasi tidak akan mempengaruhi operasional TBLA. Well, karena yang berubah kan hanya klasifikasinya, bukan operasional dari perusahaan itu sendiri.

Jadi, pemindahan klasifikasi tidak akan memberikan tambahan keuntungan bagi TBLA dari sisi profitabilitas perusahaan.

[Baca Juga: Saingi iBox Dengan Digimap, Apa Dampak Untuk MAPI]

 

Efek yang terasa mungkin hanyalah perbandingan antar emiten, di mana TBLA akan disandingkan dengan emiten-emiten consumer goods lainnya (karena berada dalam satu sektor).

Memang, perusahaan ini menghasilkan beberapa produk consumer goods seperti minyak goreng sawit, minyak kelapa sawit, margarin, mentega, gula, lemak yang dapat dimakan, sabun, dan masih banyak produk lainnya.

Brand-brand di bawah TBLA antara lain seperti Gunung Agung, Bumi Waras (B.W.), Rossy, Burung Merak, Tawon, dan Rose Brand.

Meskipun operasional dari bisnis CPO masih sangat besar di perusahaan, hal ini tidak cukup kuat untuk mempertahankan TBLA di klasifikasi perkebunan.

Jadi, untuk ke depannya dalam memvaluasi atau membandingkan kinerja dengan perusahaan lain, Penulis beranggapan bahwa masih lebih baik untuk membandingkan kinerja TBLA dengan kinerja perusahaan CPO lainnya, dan bukan consumer goods.

Karena, dari sisi operasional yang sama-sama menggunakan kelapa sawit, bisnis TBLA dan banyak perusahaan consumer goods justru tidak apple to apple.

Baik dari sisi produk yang dijual maupun operasionalnya – sehingga penulis merasa agak kurang pas untuk dibandingkan.

 

Kinerja dan Prospek TBLA ke Depannya

Pendapatan TBLA ditopang dari dua lini bisnis: pengolahan kelapa sawit dan gula. Ketika LSIP memiliki persentase pendapatan dari kelapa sawit sebesar 92%, maka perusahaan seperti itu akan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dari sentimen kelapa sawit.

Meanwhile, persentase pendapatan TBLA dari pabrikasi kelapa sawit dan turunannya hanyalah 70% dan sisanya 30% bersumber dari apbrikasi dan pengolahan gula.

Jadi, meskipun harga CPO turun, dampak yang akan ditimbulkan ke TBLA tidak akan sesignifikan dampak yang timbul ke AALI atau LSIP.

Ditambah lagi, TBLA menacatatkan peningkatan pendapatan dari pabrikasi gulanya sampai dengan 14,5% pada semester I-2019 yoy.

Belum lagi, baru-baru ini TBLA mengumumkan akan menambah kapasitas pabrik biodieselnya.

Hal ini dilakukan untuk menyambut langkah pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan biodiesel 30% (B30) pada tahun depan.

Sebagai informasi, TBLA telah memiliki pabrik di Palembang, Sumatera Selatan, dan di Surabaya, Jawa Timur.

[Baca Juga: Apa Sih Bedanya Investasi Saham dan Trading Saham?]

 

Penambahan kapasitas pabrik biodiesel ini dapat memperbanyak kapasitas produksi biodiesel menjadi 1.500 ton per hari, dari yang sebelumnya hanya dapat memproduksi 1.000 ton biodiesel per hari.

Permintaan biodiesel ke TBLA memang sedang meningkat, salah satunya dari Pertamina. Perusahaan pelat merah tersebut meningkatkan permintaan biodiesel ke perusahaan ini.

Tidak hanya Pertamina, beberapa perusahaan swasta seperti PT AKR dan Shell juga telah mengajukan permintaan akan biodiesel ke TBLA. Bahkan, pasar luar negeri juga mengaujukan permintaan biodiesel ke TBLA, terutama dari China.

Tetapi sayangnya, karena kapasitas produksi sudah penuh, TBLA hanya menjual ke Pertamina dan China saja.

Beberapa pasar luar negeri yang dapat menjadi pasar ekospor potensial bagi TBLA adalak Korea, Thailand, dan Taiwan.

Berlaku secara efektifnya penggunaan B30 mulai tahun depan dianggap dapat menjadi katalis positif bagi TBLA.

 

Kesimpulan

Perpindahan klasifikasi TBLA dari yang sebelumnya pertanian (agribisnis) ke consumer goods dapat dibilang menjadi sebuah langkah yang cukup unik. Tetapi, perpindahan klasifikasi ini tidak akan mempengaruhi operasional TBLA.

Sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kelapa sawit (CPO), TBLA patut diacungi jempol karena dapat menjaga kinerja dan profitabilitas perusahaan di tengah penurunan harga komoditas CPO – yang juga mempengaruhi penurunan profitabilitas perusahaan CPO lainnya.

[Baca Juga: Masih Awam, Gimana Sih Cara Main Saham Untuk Pemula?]

 

TBLA mengantisipasi sentimen tersebut melalui bisnis di sektor gula yang berkontribusi sebesar 30% ke pendapatan perusahaan.

Ke depannya, TBLA memiliki prospek yang cukup cerah. Ditopang dengan fundamental bisnis dan kinerja yang terjaga, perusahaan ini masih memiliki banyak peluang di masa depan.

Sebut saja kebijakan B30 yang akan efektif dilaksanakan tahun depan. Ada lagi penambahan kapasitas produksi biodiesel yang akan dilakukan melalui pembuatan pabrik baru, permintaan akan biodiesel yang tinggi juga menjadi salah satu senjata TBLA dalam mempertahankan kinerjanya.

Cuma, jangan lupakan utang TBLA yang tergolong besar untuk ukuran emiten agrikultur.. eh consumer goods..

Ke depannya, Penulis masih melihat masa depan yang cukup baik bagi perusahaan ini.

 

Disclaimer: Artikel Ini bukan ajakan jual atau beli. Risiko investasi ada di tangan masing-masing. Do Your own Research.

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai artikel di atas? Anda bisa kemukakan pendapat Anda melalui kolom komentar di bawah ini.

Jangan lupa untuk membagikan informasi bermanfaat ini pada rekan-rekan Anda ya. Terima kasih.

 

Sumber Gambar:

 

Sumber Gambar:

  • Pic 01 – https://bit.ly/31ILYdQ
  • Pic 02 – https://bit.ly/2ZCkdR8
  • Pic 03 – https://bit.ly/3isCVn1
  • Pic 04 – https://bit.ly/3ioMjrQ
  • Pic 05 – https://bit.ly/3dWciDI

 

dilema besar