Sri Mulyani Beberkan Siasat Perusahaan Digital Hindari Pajak

#FinansialkuNews Berita Menkeu Pajak pajak digital Pajak Lain Sri MulyaniLeave a Comment on Sri Mulyani Beberkan Siasat Perusahaan Digital Hindari Pajak

Sri Mulyani Beberkan Siasat Perusahaan Digital Hindari Pajak

Sejumlah perusahaan digital asal Amerika Serikat dan Eropa berpindah yurisdiksi ke negara lain demi mendapatkan tarif pajak lebih murah.

Ketahui informasi lebih lanjut dalam berita Finansialku berikut.

 

Sri Mulyani Soroti Perusahaan Digital yang Tak Bayar Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini pihaknya bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak berupaya agar seluruh perusahaan digital mau membayar pajak, meskipun belum memiliki kantor di Indonesia.

“Ini yang kami dengan Dirjen Pajak menyiapkan hal itu, debatnya negosiasi secara internasional akan menyangkut omzet, persentase yang boleh dibagi, threshold-nya. Kita punya daya tawar, tapi juga memperjuangkan,” ujarnya, dikutip dari Swa.co.id, Kamis (17/06).

 

Sri menjelaskan baru-baru ini sejumlah perusahaan digital khususnya asal Amerika Serikat dan Eropa berpindah yurisdiksi ke negara lain demi mendapatkan tarif pajak lebih murah. Salah satunya ke Irlandia Utara.

“Mereka pindah ke yurisdiksi yang taxation-nya rendah. Jadi melakukan tax avoidance dengan memindahkan head quarternya, terutama di Amerika dan Eropa itu ke Irlandia Utara,” jelasnya.

 

banner_5+_Hal_Penting_Tentang_Pajak_Penghasilan_Pebisnis! (1)

 

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan berbagai negara saat ini menghadapi erosi pajak. Hal ini pun menjadi pembahasan utama dan satu hal yang ditindaklanjuti dalam pertemuan G7 (Group of Seven) yakni organisasi tujuh negara terbesar di dunia yang disebut memiliki ekonomi maju.

Bahkan dalam pertemuan tersebut, Presiden Amerika Serikat dan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen telah menyepakati kebijakan minimum global taxation sebesar 15 persen.

“Mereka menyepakati sekarang untuk melakukan dalam forum internasional harus ada minimum taxation. Dia menggunakan angka 15 persen,” ucapnya.

Adapun dalam pertemuan G20 tahun depan, Indonesia akan kembali mengangkat isu tersebut.

Pemerintah berencana menerapkan pajak kepada perusahaan-perusahaan digital meskipun tidak memiliki kehadiran fisik. Saat ini ia masih terus membahas formula pajak tersebut dengan Direktorat Jenderal Pajak.

“Kami dengan Dirjen Pajak menyiapkan hal itu, debatnya negosiasi secara internasional akan menyangkut omzet, persentase yang boleh dibagi, threshold-nya. Kita punya daya tawar, tapi juga memperjuangkan,” pungkasnya.

[Baca juga: Orang Tajir Siap-Siap! Menkeu Bakal Naikkan Pajak Orang Kaya Jadi 35%]

Sri Mulyani menjelaskan apabila suatu perusahaan global digital memperoleh pendapatan 100, pajaknya akan dibagi antara lokasi kantor pusat korporasi berasal dan tempat penghasilan.

“Pasti 100 ini dibagi antara berbagai negara itu. Jadi sekarang ini negosiasi yang cukup alot adalah berapa yang harus dibayar yurisdiksi pajak yang mana,” jelasnya.

Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asean, terang Sri Mulyani, mempunyai daya tawar yang harus diperjuangkan. Hal itu karena selama itu perusahaan yang tidak memiliki kantor di Tanah Air memperoleh keuntungan cukup besar.

“Mereka mencari tempat dengan pajak penghasilan perusahaan yang lebih rendah. Jadi Indonesia mendapat tekanan juga. Kenapa? Karena corporate income tax kita ter-preasure. Kalau pajak kita tinggi, mereka pindah yurisdiksi sehingga kita kehilangan base erotion,” ucapnya.

 

Untuk diketahui, saat ini, Indonesia baru menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas transaksi yang dilakukan perusahaan digital luar negeri yang beroperasi di Indonesia atau transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Hingga 1 Juni 2021, sudah ada 73 perusahaan yang ditunjuk Kemenkeu sebagai pemungut PPN PMSE. Dalam aturannya, konsumen yang membeli produk digital dari mereka dikenakan PPN 10 persen dari harga sebelum pajak.

Pungutan PPN itu harus dicantumkan pada kuitansi atau tagihan sebagai bukti. Sedangkan untuk marketplace yang merupakan wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut, pengenaan PPN hanya atas penjualan produk digital oleh penjual luar negeri yang menjual melalui marketplace tersebut.

 

Penerimaan pajak dari konsumsi barang/jasa dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) memang cukup lumayan. Sejak Januari-April tahun ini, jumlahnya mencapai mencapai Rp1,89 triliun.

Jumlah itu naik signifikan dibanding setoran PPN PMSE 2020 yang sebesar Rp731,3 miliar. PPN PMSE diberlakukan sejak Juli 2020.

Sejumlah perusahaan besar yang telah masuk daftar pemungut PPN PMSE adalah Google, Amazon, Netflix, Spotify, Zoom, LinkedIn, Facebook, Apple, dan TikTok.

 

Apa pendapatmu Sobat Finansialku tentang artikel di atas? Kalian bisa tulis  lewat kolom komentar di bawah ini.

Bagikan informasi ini lewat berbagai platform yang tersedia, kepada kawan atau sanak-saudara mu, agar mereka juga tahu apa yang kamu ketahui.

 

Editor: Ari A. Santosa

 

Sumber Referensi:

  • Redaksi. 16 Juni 2021. Begini Jurus Sri Mulyani Genjot Pajak Digital. Swa.co.id – https://bit.ly/3zybvEP
  • Annisa Ayu Artanti. 15 Juni 2021. Menkeu Siap Pelototi Fenomena Perusahaan Digital Tak Bayar Pajak. Medcom.id – https://bit.ly/2TFaavk
  • Dina Karina. 16 Juni 2021. Sri Mulyani Ungkap Perusahaan Digital Rela Pindah Negara Demi Hindari Pajak. Kompas.tv – https://bit.ly/3gIy5SH

 

Sumber gambar:

dilema besar

Leave a Reply

Back To Top