Minggu (19/07) lalu, kesusastraan Indonesia kehilangan satu sastrawan terbaiknya, Sapardi Djoko Damono meninggal di usia ke-80 tahun.
Informasi selengkapnya, dapat dibaca dalam artikel Finansialku di bawah ini!
Rubrik Finansialku
Rest in Poet, Sapardi Djoko Damono
Pada Minggu kemarin (19/07) hari seperti terasa menyesakkan. Orang-orang bersedih dan kehilangan salah satu sastrawan terbaik Indonesia, Sapardi Djoko Damono.
Seperti diketahui penulis novel Hujan Bulan Juni itu meninggal di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada usia ke-80 tahun.
Selain dikenal sebagai seorang sastrawan, Sapardi juga dikenal sebagai seorang dosen.
[Baca Juga: Kisah Sukses Andrea Hirata, Sang Bapak ‘Laskar Pelangi’]
Eyang Sapardi, begitulah panggilan dari penggemar sempat mengajar di Fakultas Sastra yang sekarang Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia.
Dirinya bahkan juga sempat menjabat sebagai dekan di FIB periode 1995-1999. Lahir di Surakarta, 20 Maret 1940, Sapardi aktif di belantara sastra Indonesia sejak tahun 1950-an.
Sepanjang kariernya, ia pernah menjadi redaktur majalah sastra Horison dan menciptakan puisi-puisi yang mengena dihati.
Puisi yang berjudul Aku Ingin menjadi salah satu yang paling banyak dikutip dan terkenal, tentunya, penuh makna dan terkesan sangat romantis.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dengan puisi Aku Ingin para pembaca atau penikmat puisi seakan punya gambaran tentang arti kasih sayang, menghayatinya sesederhana mungkin meski cinta kerap kali rumit dan tak terartikan.
Sajak “Aku Ingin” itu diciptakan pada suatu sore tahun 1989. Kala itu, Sapardi tiba-tiba merasa ada sesuatu yang sudah masak di kepalanya dan butuh dituangkan segara.
Dia pun menulis tangan ungkapan-ungkapan itu. Prosesnya cepat sekali. Bahkan, dia sendiri kaget. Hingga berkeringat dan gemetaran waktu menulisnya.
“Setelah selesai, saya merasa menemukan imaji yang sulit sekali didapatkan. Saya sadar, mungkin saja sajak ini akan jadi terkenal,” kata Sapardi sebagaimana mengutip dari Kompas, Senin (20/07).
Sapardi tidak hanya aktif menulis puisi tapi juga cerita pendek, novel, esei, dan buku nonfiksi. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, salah satunya Lelaki Tua dan Laut karya penulis Amerika, Ernest Hemingway.
Kepopuleran Sapardi tampak kembali melonjak pada tahun 2010-an, ketika banyak karyanya dicetak ulang.
Salah satu antologi puisinya yang paling populer, “Hujan Bulan Juni”, telah diadaptasi menjadi film dan bahkan buku mewarnai.
Sapardi terus aktif berkarya di usia senja. Dalam beberapa tahun terakhir, lelaki yang sering terlihat mengenak topi pet tersebut menerbitkan sejumlah novel, baik orisinal maupun novelisasi dari karya-karya puisinya.
BBC mewartakan bulan lalu, Sapardi mengumumkan lewat twitter bahwa ia tengah menggarap sebuah novela.
Menyusul kabar kematiannya, serentak namanya menjadi tren di Twitter Indonesia, dengan banyak para penulis muda mengungkapkan belasungkawa dan mengutip karya Sapardi favorit mereka.
Untuk mengenang kepergiannya, berikut kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang terkenal:
#1 Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
#2 Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.
Dalam puisi yang satu ini rasanya seperti surreal. Bagaimana Sapardi meramu imajinasinya seperti meramal kejadian “yang belum”. Begitulah kebanyakan sajak-sajak Sapardi yang tak jarang memberi ruang untuk kita merenung.
#3 Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu.
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
“Yang Fana Adalah Waktu” dulunya merupakan judul puisi Sapardi yang termasuk ke dalam kumpulan sajak Perahu Kertas (1983).
Puisi tersebut merupakan seri ketiga dari trilogi buku “Hujan Bulan Juni”. Dikisahkan tentang hubungan Sarwono dan Pingkan, mereka hanya berkomunikasi menggunakan surat elektronik.
GRATISSS Download!!! Ebook Panduan Sukses Atur Gaji Ala Karyawan
Terimakasih, Eyang, telah mewarnai orang banyak dengan larik-larik puisimu, dan seperti yang kau ucap dalam puisimu, jasadmu memang tak ada lagi. Tetapi bait-bait sajak mu akan abadi dan bersemayam di hati.
Istirahatlah dalam kekal, selamat tinggal Eyang Sapardi.
Sebarkan informasi ini seluas-luasnya lewat berbagai platform yang tersedia, agar kawan atau sanak-saudaramu tahu apa yang kamu ketahui. Semoga bermanfaat, ya!
Sumber Referensi:
- Admin. 19 Juli 2020. Sapardi Djoko Damono, penulis puisi ‘Hujan Bulan Juni’, meninggal dunia di usia 80 tahun. Bbc.com – https://bbc.in/3fMyQIB
- Firda Janati. 19 Juli 2020. Mengenang Karya Sapardi Djoko Damono, Ini 5 Puisinya yang Romantis dan Penuh Makna. Kompas.com – https://bit.ly/32zAGsB
- Nur Fitriatus Shalihah. 19 Juli 2020. Kisah Sapardi Djoko Damono dan Topi Petnya… Kompas.com – https://bit.ly/2DWR3oN
- Vinna Wardhani. 19 Juli 2020. Sastrawan Sapardi Djoko Damono Meninggal Dunia, Ini Deretan Karya Fenomenalnya. Merdeka.com – https://bit.ly/2ZHhoj2
Sumber Gambar:
- Sapardi Djoko Damono 01 – https://bit.ly/32BZvEu
- Sapardi Djoko Damono 02 – https://bit.ly/2OI05Im
dilema besar