Perempuan Mosintuwu: Perlawanan dan Agen Perubahan

Perempuan Mosintuwu: Perlawanan dan Agen Perubahan

Jadi agen perubahan, Lian Gogali dan Mosintuwu Institute membangun gerakan akar rumput di Poso.

Apa itu itu gerakan akar rumput? Mari cari tahu selengkapnya di artikel Finansialku di bawah ini.

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

Magdalene.co

 

Para Perempuan Mosintuwu: Pemimpin dan Perlawanan Agen Perubahan Lewat Gerakan Akar Rumput di Posos

Pagi itu baru lewat pukul 7 di Tentena, sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah.

Udara pengunungannya segar dan matahari menyinari Danau Poso dengan lembut.

Tapi di dunia Lian Gogali yang hiruk pikuk, rasanya sudah seperti siang hari. Dia telah membantu putrinya, Sophia, yang berusia sembilan tahun bersiap untuk sekolah.

Dia juga sudah membuat sarapan, membersihkan ruang tamu, mempersiapkan seluruh area untuk hari kerja.

Sekarang, dia sedang menyiarkan acara paginya di Radio Mosintuwu, stasiun radio komunitas yang terletak di kompleks tepi danau.

Sesekali, selama jeda sembilan menit ketika musik dan pengumuman diputar secara otomatis, dia kembali ke rumah untuk membuatkan sarapan buat saya, seorang tamu di rumah bambunya yang telah dia ubah menjadi Airbnb.

“Biasanya tidak sesibuk ini, kok.” Katanya sembari meminta izin untuk kembali siaran.

“Tapi penyiar radio kami terlambat hari ini, jadi saya harus menggantikannya, dan Pian, tunangan saya, sedang keluar kota. Dia yang biasanya membantu Sofia bersiap-siap dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di sini.” Kata Lian.

Dalam waktu kurang dari satu jam, lusinan perempuan dari desa-desa di seluruh Poso akan mulai berdatangan.

Mereka akan belajar di Dodoha Mosintuwu, sebuah bangunan mengesankan berbentuk ikan yang terbuat dari bambu di sebelah kediamannya, dan merupakan rumah bagi organisasinya, Institut Mosintuwu.

Lian tampaknya mampu mengelola semua hal dengan baik, tidak terlihat stres ataupun lelah meskipun jalannya pincang akibat kecelakaan sepeda motor beberapa tahun yang lalu.

“Andai kaki saya tidak sakit kalau berjalan, saya akan bisa bergerak lebih cepat dan mungkin akan lebih sering mondar-mandir sambil berlari.” Katanya.

Ini adalah hal pertama yang saya pelajari tentang dia: Dia memiliki sekumpulkan orang-orang yang membantunya, tetapi ketika mereka sedang tidak ada, dia melakukan semuanya sendiri sama seperti layaknya mereka ada di sana membantunya.

Kemandirian ini juga menjadi ciri khas Institut Mosintuwu, yayasan yang ia dirikan pada tahun 2010 untuk memberdayakan perempuan di desa-desa di Kabupaten Poso pasca-konflik.

Perempuan Mosintuwu_ Perlawanan dan Agen Perubahan 02

[Baca Juga: Founder and Money: Memberdayakan Perempuan Timur Bersama Copadeflores]

 

Pada minggu saat saya datang, ada sekitar 30 perempuan yang beberapa di antaranya merupakan lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu.

Mereka baru mulai mengikuti berbagai pelatihan di Institut yang memberdayakan perempuan itu.

Pada hari sebelumnya, para perempuan tersebut belajar tentang kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga serta cara peduli terhadap korban.

Hari ini dan besok, mereka akan berpartisipasi dalam lokakarya media dan penulisan, di mana saya dihasut oleh Lian untuk turut membantu.

Ini adalah hal lain yang saya pelajari darinya: Dia mampu melihat dengan cepat bagaimana orang dapat berkontribusi dan dia pandai membuat orang melakukan sesuatu.

Sebelum saya sadar, saya mendapati diri saya mengajar yoga kepada para perempuan sebelum dan sesudah lokakarya, mengajarkan Sophia berenang di Danau Poso, tampil sebagai tamu di acara bincang-bincang radionya, dan berkomitmen untuk menjadi kontributor tetap di acara bahasa Inggris Radio Mosintuwu.

Semua, tentu saja, murni sukarela, dan saya sangat senang melakukannya, terutama karena saya terinspirasi oleh hal-hal menakjubkan yang telah dicapai Mosintuwu.

Kemampuan menginspirasi dan membuat orang melakukan sesuatu adalah alasan mengapa organisasi ini memberikan pengaruh yang kuat kepada komunitas-komunitas dan kehidupan banyak perempuan di Poso.

Hal ini pula yang membuat Lian layak mendapatkan berbagai penghargaan yang diraihnya, di antara Indonesian Woman of Change 2015 dari Kedubes AS di Indonesia.

Dia juga mendapatkan penghargaan Coexist Prize dari organisasi lintas agama internasional, Coexist Foundation.

 

“Apa yang Akan Terjadi Pada Kami?”

Untuk seseorang yang dididik secara akademis untuk menjadi pendeta Protestan, Lian tidak ‘Kristiani’, paling tidak dalam praktis ritualnya.

Dia tidak ke gereja pada hari Minggu, dan dia secara terbuka mengkritik kemunafikan umat-umat beriman di sekitarnya, termasuk pendeta di desa Tentena yang dominan Kristen serta di banyak desa lainnya di Poso.

“Sophia lebih Kristen daripada saya.” Katanya sambil tersenyum, setelah putrinya memutuskan untuk memulai makan malam dengan doa.

Namun, agama sebenarnya berperan besar dalam kehidupan Lian, yang berasal dari keluarga religius.

Ayahnya adalah seorang pendeta Protestan, saudara laki-lakinya adalah seorang pendeta Pentakosta, dan saudara perempuannya adalah seorang penatua gereja.

Lian meninggalkan Taliwan, desa kelahirannya di Morowali, pada tahun 1900-an untuk belajar di SMP dan SMA Katolik di Kota Poso, ibu kota kabupaten.

Tidak seperti Indonesia secara keseluruhan, populasi Poso hampir terbagi menjadi dua, antara warga Kristen dan muslim.

Tapi pada akhir 1900-an, bertahun-tahun sebelum konflik sektarian menghancurkan tempat itu, hubungan antara muslim dan orang Kristen pada umumnya harmonis.

Saya tahu betul hal itu karena pernah tinggal di Poso bersama keluarga saya pada awal tahun 1980-an.

Belakangan ini, ketika belajar di Universitas Kristen Duta Wacana di Yogyakarta, dia memahami bahwa disiplin teolog sebenarnya mendorong orang untuk menerapkan analisis kritis pada ajaran agama, meskipun banyak yang akan kembali ke gelembung dogma setelah mereka menyelesaikan pelatihannya dan memasuki kependetaan.

Beberapa eksperimen dilakukannya: Belajar salat dan bahkan mengenakan jilbab selama sebulan, sebuah langkah kontroversial yang membuatnya dikecam rektor.

“Saya ingin memahami Muslim. Selain di teater dan di bioskop, saya juga berkomunikasi dengan para pelajar dari universitas Islam saat itu.” Katanya.

Ketika konflik antar warga Kristen dan Muslim pecah di Poso pada tahun 1998, Lian masih berkuliah.

Tetapi dia menyaksikan bukti destruktifnya ketika melakukan perjalan ke Morowali melalui Poso untuk menghadiri pemakaman ayahnya.

Selepas kuliah, ia mengabdi di sebuah gereja di Jakarta Selatan, tempat ia mulai melihat adanya kesenjangan antara ajaran agam dan kenyataan di lapangan.

Meskipun itu adalah gereja yang kaya, beberapa jemaatnya sangat miskin, katanya.

Sekembalinya ke Yogyakarta, dia bergabung dengan Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Interfidei) sebagai peneliti, dan pada saat itulah ia memutuskan untuk melanjutkan studi di jurusan Kajian Budaya.

Dia meminjam uang kantor dan mendaftar sebagai mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya di Sanata Dharma, sebuah universitas Yesuit di Yogyakarta.

Salah satu mata kuliah yang paling menginspirasinya adalah, “Kekerasan dan Politik Memori”, yakni analisis memori kekerasan manusia dalam konflik, dan bagaimana hal tersebut dipolitiasai melalui budaya dan pendidikan.

“Mata kuliah tersebut membuat saya berpikir tentang Poso, jadi saya memutuskan untuk memfokuskan tesis saya pada hal itu.” Ujarnya.

Pada tahun 2002, Lian memulai penelitiannya dan tinggal di tempat pengungsian Kristen dan Muslim untuk orang-orang yang harus mengungsi akibat konflik di beberapa desa dan kota, termasuk Palu.

Sebuah ibu kota provinsi yang tidak terpengaruh oleh konflik, tetapi menampung banyak pengungsi muslim dari Poso.

Dalam penelitiannya, dia menemukan banyak perempuan yang mengingat momen-momen ketika warga muslim dan Kristen saling membantu selama konflik.

“Ada cerita tentang kaum muslim yang membantu para perempuan Kristen mengenakan jilbab sehingga mereka tidak akan dibunuh, dan tentang bagaimana warga Kristen memberi makan kaum muslim. Saya pikir ini adalah narasi yang sanagt menarik dan harus diberitahukan kepada dunia luar.” Kata Lian.

Pada hari terakhir penelitiannya, saat sedang menunggu dijemput oleh saudara laki-lakinya di pengungsian di Silanca, sebuah desa yang terletak di tepi Sungai Poso.

Saat itu, seorang perempuan tiba-tiba bertanya kepadanya, “Jadi, apa rencananya setelah penelitian selesai?” Tanyanya.

Lian masih ingat betul jawabannya kala itu.

“Dengan kenaifan seorang pelajar, saya memberi tahu dia bahwa saya akan menerbitkan sebuah buku yang akan memberi tahu dunia seperti apa rasanya realitas di lapangan. Perempuan itu menjadi diam sembari menggoreng makanannya. Dia menatap saya dan berkata, ‘Lalu, ketika buku itu keluar, apa yang akan terjadi pada kami?’”

Pertanyaan itu membuat Lian terpukul. Dia tahu bahwa perempuan-perempuan ini telah banyak diwawancarai oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti dan media.

Namun, mereka tampaknya tetap menjadi pihak yang tidak mendapatkan keuntungan dari semua hal itu.

Inilah pertanyaan yang ia ajukan saat kembali ke Yogyakarta dan membuatnya terjaga sepanjang malam, hingga ia jatuh sakit.

Dia memutuskan untuk mengunjungi Dokter, kemudian dia didiagnosis mengidap trauma sekunder.

 

“Aku Ingin Bertemu Dengan Pria Itu Lagi.”

Setelah selesai dengan tesisnya, Lian kemudian bekerja di SAINS Bogor, sebuah lembaga yang berfokus pada keadilan agraria, di mana ia melakukan penelitian untuk program reintegrasi sosial dan ekonomi di Poso.

Suatu hari, dia diperkosa oleh seorang teman, seorang pria aktivis HAM yang sudah menikah, sampai membuatnya hamil.

Ketika dia menolak untuk menggugurkan bayinya, dia malah diteror oleh sang pelaku dan keluarganya.

Dari penyerangan itu, dia belajar tentang kerentanan perempuan terhadap serangan seksual.

Bahkan, kepada mereka yang mungkin lebih diistimewakan dan diberdayakan seperti dia.

Hal ini sekaligus membukakan matanya terhadap bentuk penyalahan korban yang marak terjadi dalam kasus kekerasan seksual.

Jika ini bisa terjadi padanya, lantas apa yang akan terjadi pada mereka yang tidak memiliki pendidikan dan ekonomi yang layak sepanjang hidupnya?

Perempuan Mosintuwu_ Perlawanan dan Agen Perubahan 03

[Baca Juga: Hari Perempuan Internasional: Teriakan Menumpas Patriarki]

 

Di Poso, kekerasan seksual sendiri sering kali diselesaikan oleh Dewan Adat desa tersebut.

Dalam banyak kasus, pelakunya dibebaskan dari tuduhan atau dibebaskan dengan hukuman yang ringan.

Beberapa penelitian juga menunjukkan kalau banyak perempuan dan anak-anak yang akhirnya harus menikahi pemerkosa mereka.

Kecuali kepada beberapa teman, Lian memutuskan untuk merahasiakan kehamilannya dan kembali ke Yogyakarta.

Ketika dia sampai di kosnya, dia harus membuat alasan tentang status kehamilan tanpa suaminya kepada Ibu Kos.

Dia mengatakan kalau dia tidak diizinkan untuk menikahi pacarnya karena mereka berbeda agama.

Tapi, setelah bayi itu lahir, tidak butuh waktu lama bagi Lian untuk menarik perhatian penghuni asrama lainnya yang mengeluh tentang jerit tangis bayi yang sering terdengar pada larut malam.

Akhirnya, ketua RT setempat menyuruh Lian untuk meninggalkan kos itu akrena statusnya sebagai ibu yang belum menikah.

Sekitar waktu itu pula bukunya terbit, dan secara kebetulan, dia mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara pada peluncuran bukunya sendiri di Palu, Sulawesi Tengah.

Dengan kondisi yang tidak punya uang dan putus asa, dia memutuskan kalau ini lah kesempatan yang bagus baginya untuk benar-benar pulang.

Dia kemudian mengemasi semua barangnya dan membawa Sophia yang berusia satu bulan.

Tapi, setibanya di check-in counter bandara Yogyakarta, Lian ternyata harus membeli tiket setengah harga untuk bayinya.

“Saya tinggal punya sepuluh ribu rupiah saat itu, dan saya bisa mendengar nama saya dipanggil di sistem pengumuman bandara karena pesawat sudah siap untuk berangkat.” Kenangnya.

Setelah membujuk petugas tiket maskapai dengan intens, petugas itu akhirnya setuju untuk meminjamkannya Rp 400 ribu untuk membeli tiket.

Utang itu dengan segera dilunasi oleh Lian, tapi bobot pengaruhnya tidak ia lupakan hingga saat ini.

“Saya ingin berbicara dengan pria itu lagi, untuk mengetahui keadaannya dan mengabarkan dia bagaimana keadaan saya, tapi saya kehilangan nomor teleponnya seiring berjalannya waktu.” Katanya.

Kemudian akhirnya, perjalanan ini membawanya kembali ke Poso, tempat di mana dia bertemu dengan keluarganya dan menceritakan kepada mereka tentang Sophia.

Setelah menolak saran keluarganya untuk menyerahkan Sophia agar diadopsi oleh saudara perempuannya, dia pindah bersama saudara laki-lakinya di Tentena.

Butuh dua tahun lagi sebelum kakak perempuannya menerima keputusan Lian yang akan dianggap sebagai aib di kampung halamannya di Taliwan.

Juga, butuh beberapa tahun lagi untuk dia bisa merasa diterima sepenuhnya.

 

Es yang Membekukan Kami, Pecah

Lian kemudian bekerja selama satu tahun di ASEAN Muslim Action Network (AMAN).

Tugasnya aadalah merancang kurikulum dan menjalankan Sekolah Perempaun di Poso sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.

“Saya merasa konsep dan isinya sangat berorientasi pada Jakarta; tidak ada konteks Poso.” katanya.

Sementara di sisi lain, pendekatan top-down program ini, yang meminta kepala desa untuk memilih pesertanya dan membayar para perempuan untuk bersekolah, turut berkontribusi pada kurangnya asas kepemilikan Sekolah Perempuan.

Lian merasa kalau ini memengaruhi keberlanjutannya. Tapi biar begitu, dia tetap percaya kalau Sekolah Perempuan adalah cara terbaik untuk memberdayakan perempuan.

“Perempuan membutuhkan pengetahuan, informasi, akses, dan keterampilan. Mereka tidak hanya membutuhkan pelatihan tentang cara bertahan hidup, sebagaimana yang diterapkan beberapa Sekolah Perempuan; para perempuan juga perlu berkembang. Dengan cara ini, setiap perempuan memiliki peran dalam proses itu sendiri, dan akan ada dialog berkelanjutan untuk mengembangkannya lebih lanjut.” Ungkapnya.

Bersama dengan Sofyan yang kini resmi menjadi tunangannya, dan seorang sahabat bernama David, ia mendirikan Institut Mosintuwu.

Misi mereka adalah emansipasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat Poso dengan memberdayakan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok masyarakat yang paling terpinggirkan.

Pada tahun 2010, gelombang pertama Sekolah Pertama dimulai di desa-desa di seluruh Kabupaten.

Sekolah Perempuan sendiri memiliki rentang waktu satu tahun pembelajaran, dan tiap-tiap sekolah mengelompokkan perempuan dari sejumlah desa yang berbeda untuk memfasilitasi pertemuan lintas latar belakang sosial, agama, dan etnis.

Kurikulumnya terdiri atas modul-modul tentang:

  • Agama
  • Toleransi dan Perdamaian
  • Gender
  • Perempuan dan Budaya
  • Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi
  • Perempuan dan Politik
  • Akal Budi dan Berbicara di Depan Umum
  • Hak atas Layanan Publik
  • Hak Sosial Ekonomi dan Politik
  • Manajemen Ekonomi Solidaritas

 

Kelas-kelasnya sendiri menerapkan diskusi, bermain peran, pekerjaan rumah, kunjungan lapangan, pembuatan film, pengambilan foto, serta aktivitas lainnya.

Meski bahasa yang digunakan terbilang sederhana, tapi ide-ide yang dikemukakan sangat progresif.

Dengan maksud mendekonstruksi segala hal yang para perempuan ketahui dan terima apa adanya, mulai  dari agama, gender, batasan budaya, hingga partisipasi politik.

Di lingkungan pasca-konflik Poso, dengan sentimen agama yang masih melekat, pendekatan ini terbilang berani.

Sebagai contoh, dalam modul agama, yang merupakan modul paling pertama dalam kurikulum, perempuan muslim mengunjungi gereja.

Mereka diwajibkan untuk bertanya kepada pendeta tentang segala hal yang ingin mereka ketahui tentang agama Kristen.

Sementara itu, perempuan Kristen mengunjungi masjid dan menemui sang imam untuk mengadakan diskusi yang serupa.

Perempuan Mosintuwu_ Perlawanan dan Agen Perubahan 04

[Baca Juga: 10 Ciri Perempuan Berkarakter Kuat dan Tangguh di Mata Pria]

 

Martince Baleona, salah satu perempuan lulusan tahun pertama di Sekolah Perempuan berkata;

“Di kelas saya ada perempuan dari tiga desa yang berbeda, dua desa muslim dan satu desa Kristen. Pada hari pertama, kami merasa awas terhadap perbedaan agama kami. Barulah setelah sesi kedua, ketika kami saling mengunjungi rumah ibadah yang berseberangan, es yang membekukan kedua sisi kami pecah dan ketidakpercayaan antar satu sama lain pun luntur. Kami mulai menjaga dan peduli terhadap saudara perempuan kami yang beragama lain.”

Hingga tahun 2017, sebanyak 500 perempuan dari 70 desa di Poso telah lulus dari tiga gelombang Sekolah Perempuan.

Kebanyakan dari mereka adalah Ibu Rumah Tangga berpenghasilan rendah yang mengolah tanah pertanian keluarga dan tidak memiliki akses ke pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah.

Bahkan, sebagian besar dari mereka hanya berpendidikan SD dan SMP. Mayoritas dari mereka juga terkena dampak konflik sektarian pada tahun-tahun sebelumnya.

Para lulusan dari Sekolah Perempuan ini kemudian direkrut menjadi relawan di desa masing-masing.

Tugas mereka adalah menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang telah diperolah.

Mereka akan berkontribusi pada salah satu atau sejumlah program-program, seperti:

  • Rumah perlindugan perempuan dan anak
  • Pengawasan desa
  • Proyek literasi
  • Ekonomi desa
  • Media (Mencakup radio komunitas dan bagian mingguan di surat kabar lokal).

 

Para lulusan pun kemudian melanjutkan pendidikan mereka melalui berbagai pelatihan yang diadakan di Dodoha Mosintuwu.

Sejak tahun 2015, Mosintuwu telah mengubah program Sekolah Perempuan menjadi Rumah Belajar Desa.

Rumah Belajar Desa ini menyelenggarakan berbagai lokakarya dan pelatihan, tidak hanya buat perempuan, tapi juga buat para pemuka agama dan perangkat desa.

Ini adalah bentuk pergeseran fokus dari membangun perdamaian ke pemberdayaan pasca-konflik.

“Sudah saatnya Sekolah Perempuan berkembang karena konteks dan kebutuhan telah bergeser pasca-konflik. Saya juga ingin perempuan membangun Sekolah Perempuan mereka sendiri di desa masing-masing. Sekolah Perempuan bukanlah tujuan. Itu hanya alat perjuangan untuk membuat perempuan lebih kritis. Tujuan akhirnya adalah Poso yang berdaya.” Ujar Lian.

Mosintuwu juga mendorong perempuan untuk menjadi penggerak ekonomi desa melalui inisiatif seperti menciptakan dan mengoperasikan pasar.

Beberapa desa tidak memiliki pasar mereka sendiri, dan penduduk desa harus melakukan perjalanan berkilo-kilometer untuk menjual produk mereka atau membeli kebutuhan sehari-hari.

Mosintuwu juga membantu para perempuan mengembangkan dan memasarkan produknya sendiri, mulai dari minyak kelapa murni, madu hutan, kopi, hingga tas dan aksesoris mode.

 

“Tolong Kontrol Perempuan-Perempuan Ini!”

Salah satu peninggalan dari 32 rezim Soeharto adalah kelompok perempuan komunitas bernama Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK.

Yaitu, sebuah jaringan nasional lembaga-lembaga semi-otonom yang aktif secara lokal.

Kegiatannya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dan rumah tangga di daerah pedesaan.

PKK juga merupakan mesin pembangunan negara yang efektif dan digunakan untuk segala hal.

Mulai dari memberikan layanan Keluarga Berencana dan layanan kesehatan, hingga menyebarkan gagasan tentang peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan dalam pembangunan nasional.

Tapi ironisnya, ini tidak ubahnya seperti program-program rekayasa sosial Order Baru lainnya, PKK terasa komunis.

Lian paham akan penyebaran PKK dan hegemoni budayanya ketika ia pertama kali memulai Sekolah Perempuan.

Tapi, alih-alih menolaknya, Sekolah Perempuan malah mengooptasi bahasa PKK untuk mendeskontruksi peran gender yang kaku dari sisa-sisa rezim Orde Baru.

Di kelas Perempuan dan Politik, para perempuan memulai kelas dengan menyanyikan lagi PKK yang liriknya berisi ujaran bahwa perempuan harus membagnun keluarga yang sejahtera dan sehat; mengatur rumah tangga yang rapi dan indah; membesarkan anak-anak yang patriotik, terampil dan sehat.

Tapi, setelah menyanyikannya, para perempuan dituntun untuk memecahkan baris per baris lagu tersebut secara kritis.

Pada akhirnya, mereka menciptakan lagu kebangsaan mereka sendiri yang terdengar proletar:

Marilah semua perempuan desa

Mari maju dan berbicara lantang

Bersama kita berkembang

Untuk perdamaian dan keadilan

 

“Perempuan ini sudah sangat berubah. Pada awalnya, mereka tidak memiliki kepercayaan diri, takut jika mereka mengeluarkan pendapat akan dihakimi atau ditegur. Kini mereka sangat vokal.” Tutur Lian.

Para perempuan Mosintuwu, kini bisa duduk dengan percaya diri di rapat balai desa dan berhadapan langsung dengan kepala desa, bendahara, dan sekretaris, bahkan anggota dewan setempat.

Mereka berdebat tentang UU Desa. Bahkan sering kali, mereka yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang hukum dibandingkan para aparatur, yang membuat mereka mampu turut serta dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah desa.

Tapi, mereka tidak selalu vokal. Awalnya, meski telah mendapatkan ilmu, para perempuan tersebut menyadari bahwa mereka masih belum mampu mengungkapkan pemikiran mereka.

Terutama ketika mereka berhadapan dengan orang yang dipandang unggul dari segi ekonomi atau status masyarakatnya.

“Modul Akal Budi dan Berbicara di Depan Umum ditambahkan ke dalam kurikulum pada pertengahan tahun pertama Sekolah Perempuan. Beberapa perempuan bercerita kepada saya bahwa mereka pernah menghadiri pembicaraan tentang gender yang diberikan oleh pejabat-pejabat perempuan Sinode, tapi yang dibicarakan berbeda dengan apa yang mereka telah pelajari di Sekolah Perempuan. Namun, mereka tidak bisa berdebat dengan para pejabat karena dipandang rendah dan dianggap tidak memiliki ilmu setinggi para perempuan Sinode.” Kata Lia.

Berbicara di depan umum ternyata merupakan keterampilan yang sangat memberdayakan para perempuan dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

Pada tahun 2015 di desa Didiri, 15 lulusan Sekolah Perempuan memutuskan untuk mendukung seorang calon kepala desa.

Para perempuan tersebut melakukan kampanye gerilya, menyambangi tiap rumah demi meminta dukungan untuk kandidat mereka sedemikian rupa sehingga sang petahana mendatangi Lian dan memintanya untuk mengendalikan mereka.

Dia menyebut kalau perempuan tersebut dibilangnya “terlalu militan”. Sang petahana akhirnya kalah dalam pemilu, dan kepala desa yang baru pun menunjuk sejumlah perempaun untuk memimpin lembaga-lembaga penting di desa.

“Pengalaman saya sendiri telah menunjukkan kepad saya bahwa perempuan memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melakukan banyak hal, tetapi sering kali mereka dibatasi oleh rasa takut dan kurang percaya diri. Maka dari itu, saya mendorong mereka. Saya juga membekali mereka dengan keterampilan teknis-komputer, menulis, berbicara di depan umum-karena kerap keterampilan teknis macam ini lah yang menghambat mereka.” Tutur Lian.

Menanamkan rasa profesionalisme kepada perempuan yang tidak memiliki pengalaman dalam lingkungan profesional menjadi tantangan, katanya.

Tapi tantangan yang lebih berat lagi adalah fakta bahwa bekerja dengan perempuan berarti harus berurusan dengan keluarga mereka, terutama para suami yang memiliki kendali finansial dan fisik atas istri mereka.

“Jika suami mereka melarang mereka mendatangi pertemuan, maka tidak ada yang bisa mereka lakukan. Awalnya, saya mendapat banyak telepon dan SMS dari suami yang amrah. Situasinya lebih baik sekarang karena memiliki posisi tawar yang lebih kuat dengan pemerintah dan tokoh masyarakta. Argumen bahwa semua yang terlibat di Mosintuwu itu perempuan pun membantu, jadi para suami tidak punya alasan untuk cemburu. Tapi tetap saja, bentuk negosiasinya terus berlangsung.” Jelas Lian.

 

“Saya hanya mengajari mereka untuk melawan.”

Terlepas daru kesuksesan Mosintuwu, Lian tetap menjadi sosok yang kontroversial, terutama dalam komunitas Kristen konservatif di Tentena.

Dia bukan anggota gereja mana pun dan tunangannya adalah seorang muslim. Dia juga secara terbuka membesarkan seorang anak perempuan tanpa Ayah.

“Ada masanya ketika mereka mulai berencana campur tangan untuk mencegah saya masuk Islam.” Katanya sambil terkekeh.

Tetapi, Lian terkadang masih diundang untuk memberikan khotbah, dan di mimbar, dia memasukkan ide-ide seperti kesetaraan gender dan keadlian ekonomi ke dalam khotbahnya.

Sebagai penyintas kekerasan fisik, seksual, dan psikologis, dia telah merasakan bagaimana budaya dan agama dapat memihak pelaku dan turut mempertahankan budaya kekerasan.

Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual, para pemula agama sering kali membebani perempuan atau sekadar mendoakan ketenangan untuk korban.

Penolakan gereja terhadap permohonan cerai juga memaksa perempuan untuk tetap tinggal dalam pernikahan yang penuh kekerasan.

“Masalah seperti kemiskinan dan kekerasan dikubur dalam-dalam, dan semua orang berperilaku layaknya tidak terjadi apa-apa. Namun, gundukan tanahnya masih terlihat, dan sesekali baunya mengganggu kita.” Katanya.

Mosintuwu mulai melibatkan para pemimpin dari semua agama (termasuk Musilm, Kristen, dan Hindu) yang ada di Poso.

Mosintuwu mendorong mereka menghasilan tafsir yang lebih adil dan inklusif sebagai ajaran agama.

“Tantangan agama bagi kami adalah bagaimana sistem dan mekanisme patriarki serta feodalismenya didekonstruksi dengan interpretasi baru. Hal ini menantang saya untuk selalu kembali ke studi teologi.” Ungkapnya.

Perempuan Mosintuwu_ Perlawanan dan Agen Perubahan 01

[Baca Juga: Ruang (Ny)aman: Solo Traveling Bagi Perempuan]

 

Apa yang dia mulai tujuh tahun lalu telah berkembang menjadi gerakan akar rumput sejati yang anggotanya telah menjadi agen perusahan efektif di komunitas mereka.

Mulai dari memberikan perlindungan kepada korban kekerasan domestik dan seksual, menjalankan perpustakaan untuk anak-anak di desa, menjadikan perempuan sebagai mesin ekonomi desa, hingga melibatkan perempuan dalam politk dan pembangunan desa.

Keberhasilan ini yang menjadi alasan dan inspirasi yang cukup buat Lian untuk bangun dan bekerja keras setiap pagi.

Dia menyadari kalau semuanya bersumber pada satu hal; Perlawanan.

“Apa yang saya lakukan sebenarnya adalah mengajari perempuan untuk hidup melawan, karena tidak ada cara lain selain melawan. Sistemnya terlalu korup, budayanya terlalu erosif-terlalu buruk. Tapi dalam melawan, kita harus pintar. Saya belajar dari gerakan lain, seperti gerakan di Amerika Latin, bahwa kuncinya adalah melakukan ini bersama.” Pungkasnya.

 

Bagaimana pendapat Sobat Finansialku mengenai hal ini? Mari kita diskusikan di kolom komentar!

Sobat Finansialku juga bisa mendiskusikan hal ini bersama teman atau keluarga dengan membagikan artikel dari Finansialku lewat pilihan platform yang tersedia di bawah ini. Terima kasih.

Ebook Mommy & Money: Panduan Cara Mengatur Keuangan IBU RUMAH TANGGA

Download Sekarang, GRATISSS!!!

7 Ebook Mom and Money

 

Artikel ini merupakan hasil kerja sama Finansialku dengan Magdalene.co. Isi dan data yang tertera dalam artikel merupakan tanggung jawab Magdalene.co

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • Perempuan – http://bit.ly/39JgtCz, http://bit.ly/3bMlPjb, http://bit.ly/3bQySAc, http://bit.ly/3quJ5pP

 

dilema besar