Masih banyak masyarakat di luar sana yang masih menyamakan konsep asuransi syariah dengan konvensional. Bahkan tak sedikit pula yang memberikan label haram pada asuransi syariah.
Lalu sebenarnya, apa saja hukum-hukum Islam dalam asuransi syariah? Apakah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi pelaku asuransi syariah agar benar-benar sesuai dengan kaidah dan prinsip syariah? Yuk Sobat Finansialku, kita cek bersama!
Summary
- Asuransi Syariah dalam pelaksanaan operasionalnya dapat dikatakan halal dan sesuai dengan kaidah syariah apabila menerapkan beberapa hal.
- Perusahaan Asuransi Syariah wajib menghindari praktik Gharar (unsur ketidakpastian), Maisir (unsur perjudian), Riba (unsur penambahan), Risywah (unsur suap), Dzulnun (unsur zalim), dan hal-hal lainnya yang tidak sesuai dengan kaidah syariah.
- Asuransi Syariah menggunakan kumpulan dana tabarru sebagai sumber pembayaran klaim bagi nasabahnya yang terkena risiko dan menggunakan konsep sharing of risk.
Hukum Islam tentang Asuransi Syariah
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, pengertian Asuransi Syariah adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Perihal konsep tolong-menolong dalam hal kebaikan ini juga sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Q.S. Al Maidah ayat 2 yang berarti,
“……, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Asuransi Syariah dalam pelaksanaan operasionalnya dapat dikatakan halal dan sesuai dengan kaidah syariah apabila menerapkan hal-hal berikut ini:
Menghindari unsur Maisir, Gharar, dan Riba dalam pengelolaan operasional bisnisnya
Perusahaan Asuransi Syariah wajib menghindari praktik Gharar (unsur ketidakpastian), Maisir (unsur perjudian), Riba (unsur penambahan), Risywah (unsur suap), Dzulnun (unsur zalim), dan hal-hal lainnya yang tidak sesuai dengan kaidah syariah.
Praktik-praktik semacam ini dapat terjadi di berbagai aspek kegiatan perusahaan mulai dari operasional karyawan, keputusan manajerial, pembuatan produk, sampai pada metode penjualan oleh tenaga pemasaran.
Dalam praktiknya, kepatuhan terhadap hal ini akan dibantu diawasi oleh DPS Perusahaan tersebut.
Untuk lebih mengetahui informasi seputar riba, yuk dengarkan audiobook berikut ini.
Menggunakan konsep Sharing of Risk dalam mengelola risiko semua nasabahnya
Berbeda dengan asuransi konvensional yang menggunakan konsep transfer of risk (memindahkan risiko), asuransi syariah dalam praktik operasionalnya menggunakan prinsip sharing of risk (berbagi risiko).
Dari total kontribusi yang dibayarkan oleh nasabah, sebagian akan dialokasikan untuk dana tolong-menolong (tabarru’). Nah, kumpulan dana tabarru’ inilah yang nantinya dipergunakan untuk menanggung risiko finansial (musibah) yang terjadi pada nasabah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa jika terjadi musibah pada nasabah, yang akan menanggung adalah para peserta lainnya melalui kumpulan dana tabarru’ tadi.
Dengan konsep seperti ini, maka pengelolaan risiko pada asuransi disebut sharing of risk (berbagi risiko), di mana risiko yang terjadi ditanggung bersama-sama.
[Baca Juga: Ternyata Tidak Semua Produk Asuransi Syariah Memenuhi Standar!]
Menggunakan akad yang telah ditentukan dalam produk-produknya.
Di dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah telah dijelaskan bahwa Asuransi Syariah menggunakan akad tabarru dan tijarah sebagai landasan operasionalnya.
Secara garis besar akad tabarru digunakan sebagai landasan tolong menolong dan dipergunakan untuk berbagai macam manfaat produk yang berhubungan dengan proteksi seperti manfaat Asuransi Jiwa, Kesehatan, Penyakit Kritis, Kecelakaan, dan sebagainya.
Sementara akad tijarah digunakan untuk tujuan komersial misalnya seperti unsur tabungan dan investasi yang ada di dalam sebuah produk asuransi.
Menggunakan dana Tabarru sebagai sumber pembayaran klaim bagi nasabahnya
Asuransi Syariah menggunakan kumpulan dana tabarru sebagai sumber pembayaran klaim bagi nasabahnya yang terkena risiko.
Dana Tabarru ini didapatkan dari kontribusi masing-masing nasabahnya dari tiap polis yang diterbitkan, dan digunakan untuk tujuan tolong-menolong.
Sumber dana tabarru ini terpisah dengan dana operasional perusahaan dan pelaksanaannya diawasi ketat oleh Dewan Pengawas Syariah.
Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah menjadi salah satu unsur yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah perusahaan Asuransi Syariah.
Dalam praktiknya, DPS berwenang dan bertugas memberikan saran dan nasihat, serta mengawasi kegiatan perusahaan asuransi Syariah agar sesuai dengan prinsip Syariah serta fatwa DSN-MUI.
DPS ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI dan ditetapkan dalam RUPS Perusahaan Asuransi.
Beberapa hal di atas menjadi sebuah acuan bahwa Asuransi Syariah memang benar-benar dijalankan dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu yang memang telah disyaratkan oleh Syariat Islam.
Sehingga, hal ini perlu disyiarkan lebih luas lagi ke masyarakat dan sudah saatnya masyarakat dapat memahami dengan jelas segala perbedaannya dengan Asuransi Konvensional. Wallahu A’lam bishawab.
Jika Sobat Finansialku masih bingung perihal asuransi syariah ini, Sobat Finansialku bisa langsung konsultasi bersama saya lewat aplikasi Finansialku di menu Konsultasi Keuangan.
Bisa juga lakukan booking jadwal konsultasi di web konsultasi.finansialku.com atau lewat WhatsApp di sini.
Sobat Finansialku, jadi sekarang sudah paham kan mengenai asuransi syariah dalam hukum Islam? Jika Sobat Finansialku memiliki pertanyaan atau opini, silakan tulis pada kolom komentar di bawah ini.
Jangan lupa untuk membagikan artikel ini pada rekan-rekan lainnya. Terima kasih.
Editor: Ratna SH
dilema besar