Bagaimana pandangan Islam tentang utang? Apakah kita dibolehkan berutang kepada orang lain dalam ajaran Islam?
Cari tahu yuk, konsep hukum utang piutang dalam Islam dalam artikel Finansialku berikut ini.
Pengertian Utang Piutang
Utang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang dipinjamkan dari orang lain. Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).
Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.
Dalam Bahasa Arab utang-piutang disebut dengan ‘ariyah. Secara etimologi, ‘ariyah bermakna datang dan pergi.
‘Ariyah dapat disimpulkan perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, di mana pihak pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta kepada orang lain yang membutuhkan.
Maka dapat disimpulkan bahwa piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan pengembalian yang sama. Sedangkan utang adalah menerima sesuatu (uang atau barang) dari seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan utang tersebut dalam jumlah yang sama.
[Baca Juga: Bagaimana Hukum Waris Untuk Anak Tiri dalam Islam ]
Selain itu akad dari utang piutang adalah akad yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Utang piutang disarankan agar mempertimbangkan antara manfaat dan mudharat serta pemberian penangguhan waktu bagi peminjam agar dapat membayar utangnya atau jika tetap tidak bisa membayarkan utangnya maka lebih baik utang tersebut direlakan untuk tidak dibayarkan oleh peminjam
Dasar Hukum Utang Piutang
Dalam ajaran Islam terdapat sumber hukum pokok yang menjadi pedoman atau rujukan bagi umat Islam. Sumber hukum Islam utama ada tiga, yaitu: Al Aquran, Sunnah (Hadist), dan Ijma’.
#1 Al Quran
Adapun dasar hukum utang piutang yang disyariatkan dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an adalah firman Allah Q.S Al-Maidah ayat 2:
“…وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ…”
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…”
Maksud dari ayat diatas adalah bertolong-menolonglah kamu yang menyenangkan hati orang banyak dan meridhakan Allah. Jika seorang manusia dapat melakukan yang demikian itu, maka sempurnalah kebahagiaannya.
[Baca Juga: Pengertian IKNB Syariah Beserta Jenisnya Dalam Sudut Pandang Islam]
Transaksi utang piutang terdapat dalam nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian pada dasarnya pemberian utang pada seseorang harus didasari niat tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan.
Ayat ini berarti juga bahwa pemberian utang harus didasarkan pada pengambilan manfaat dari suatu pekerjaan dianjurkan oleh agama atau tidak ada larangannya dalam melakukannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 77:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
[Baca Juga: Fakta Unik Islam yang Jarang Diketahui: Sejarah dan Kehidupan Islam ]
Berdasarkan nash tersebut maka jelas bahwa manusia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berusaha dalam segala aspek kehidupan, sepanjang menyangkut manusia baik mengenai urusan dunia yaitu dalam hal utang piutang atau pun lainnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Allah SWT memberikan rambu-rambu dalam melakukan utang piutang agar berjalan sesuai prinsip syari’ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah. Pengaturan tersebut yaitu anjuran agar setiap transaksi utang piutang dilakukan secara tertulis.
Tujuan dan hikmah dibolehkannya utang piutang adalah memberi kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan hidup, karena umat manusia itu ada yang berkecukupan dan ada yang kekurangan. Orang yang kekurangan dapat memanfaatkan utang dari pihak yang berkecukupan. Keuntungan dalam memberi utang terdapat dalam surat Al-Hadid ayat 11, yaitu:
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat- gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.
#2 Al-Hadist
Hadits yang menerangkan tentang utang piutang adalah HR. Muslim no880 berikut ini:
“dari Abu Rafi’a ra. Bahwasannya Nabi saw pernah meminjam seekor unta muda dari seseorang. Ternyata beliau menerima seekor unta untuk zakat. Kemudian Nabi saw menyuruh Abu Rafi’i berkata, “aku tidak menemukan kecuali yang baik dan pilihan yang sudah berumur empat tahun. ”Maka Rasulullah saw bersabda: “berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik manusia ialah yang paling baik melunasi utang.” (HR. Muslim no.880)
[Baca Juga: 16 Rekomendasi Film Islam Terbaik Sepanjang Masa]
Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa setiap utang harus dibayar sesuai dengan nilai yang dipinjam sebelumnya. Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Utang piutang harus disertakan dengan niat yang baik dari peminjam maupun dari yang meminjamkan, seperti Sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Abdul Aziz bin Abdillah Al Awaisi: meriwayatkan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Sauri bin Zaid, dari Abi Ghois, dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda ”Barangsiapa yang mengambil harta seseorang dengan maksud membayarnya, Allah akan membayarkannya. Dan barangsiapa yang mengambil dan bermaksud melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkannya”. (HR. Bukhari no.2387).
#3 Ijma’
Para ulama sepakat dan tidak ada pertentangan mengenai kebolehan utang piutang, kesepakatan ini didasarkan pada tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Oleh karena itu, utang piutang sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
Meskipun demikian, utang piutang juga mengikuti hukum taklifi, yang terkadang dihukumi boleh, makruh, wajib, dan terkadang haram. Hukum dari pemberian utang yang awalnya hanya dibolehkan yang bisa menjadi suatu hal yang diwajibkan jika diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan.
Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk maksiat atau perbuatan makruh, mislanya untuk membeli narkoba atau yang lainnya. Dan hukumnya boleh jika untuk menambah modal usahanya karena berambisi mendapatkan keuntungan besar.
Haram bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan pada waktu akan dikembalikannya utang. Utang piutang dimaksudkan untuk mengasihi manusia, menolong mereka menghadapi berbagai urusan, dan memudahkan sarana-sarana kehidupan. Akad dalam utang piutang bukanlah salah satu sarana untuk memperoleh penghasilan dari memberikan utang kepada orang lain. Oleh karena itu, diharamkan bagi pemberi utang untuk mensyaratkan tambahan dari utang yang dia berikan ketika mengembalikannya.
Tetapi berbeda jika kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba dan dibolehkan serta menjadi kebaikan bagi si pemberi utang. Karena ini terhitung sebagai al-husnul al-qada’ (membayar utang dengan baik).
Kesimpulannya
Berdasarkan beberapa uraian yang menjadi dasar hukum utang piutang di atas baik dari firman Allah dan Hadits Nabi Muhammad Saw, utang piutang merupakan salah satu bentuk akad yang disyari’atkan hukum Islam dengan melonggarkan kesempitan hidupnya, merupakan perbuatan yang terpuji dan mendapatkan pahala dari Allah. Secara otomatis utang piutang merupakan tindakan yang disunnahkan menurut hukum Islam, jika dilakukan sesuai dengan batasan-batasan yang diperbolehkan syara’.
Rukun dan Syarat Utang Piutang
Lebih lengkapnya, Finansialku akan jelaskan apa saja yang termasuk dalam rukun dan syarat utang piutang dibawah ini.
Rukun Utang Piutang
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat yaitu:
-
Mu’ir (peminjam), syarat-syarat bagi mu‟ir adalah: Baligh
- Berakal
- Orang Tersebut tidak dimahjur
-
Musta’ir (yang meminjamkan), syarat-syarat bagi musta’ir adalah:
- Baligh
- Berakal
- Orang tersebut tidak di mahjur
-
Mu’ar (barang yang dipinjamkan), syarat-syarat bagi benda yang diutangkan:
- Materi yang dipinjam dapat dimanfaatkan: dengan demikian tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan.
- Pemanfaatan itu diperbolehkan, dengan demikian akan batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-benda najis.
- Sighat (yakni sesuatu yang menunjukan): kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan). Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti orang berkata “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku berutang kepada kamu (sebutkan benda yang dipinjam)”.
[Baca Juga: Bagaimana Hukum Jual Beli Sistem Over Kredit dalam Islam? ]
Syarat Utang Piutang
Dr. H. Nasrun Haroen MA dalam bukunya Fiqh Muamalah menyebutkan bahwa syarat dalam akad ‘ariyah adalah sebagai berikut:
#1 Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah, sedangkan ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
- ‘ariyah batal jika dilakukan oleh anak kecil
- ‘ariyah batal jika dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau orang gila
- ‘ariyah tidak sah jika dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
#2 Pemegangan barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah. Adapun syarat barang yang akan dipinjamkan adalah:
- Barang tersebut halal atau milik sendiri
- Barang yang dipinjamkan memiliki manfaat
- Barang yang akan dipinjamkan bukanlah barang rusak
#3 Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan maka akad menjadi tidak sah
- ‘ariyah tidak sah apabila materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
- ‘ariyah batal apabila pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
#4 Manfaat barang yang dipinjamkan itu termasuk manfaat yang mubah (dibolehkan syara’).
Pembayaran dan Tanggung Jawab Peminjam
Pembayaran
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang memberikan pinjaman (musta’ir).
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Rasulullah SAW bersabda:
Abu Yaman meriwayatkan: Syu‟aib meriwayatkan dari Zuhri, dan Ismail meriwayatkan. Dia berkata: saudara laki-laki ku telah menceritakan kepadaku, dari Sulaiman, dari Muhammad bin Ibnu Atiq, dan Ibnu Syihab dari Urwah, sesungguhnya Aisyah RA., bahwa Rasulullah SAW selalu berdoa dalam sholat beliau, “Wahai Allah” sesungguhnya saya berlindung kepadamu dari dosa dan utang.
Seseorang berkata kepada beliau, “alangkah banyaknya engkau berlindung dari utang, wahai Rasulullah?” beliau bersabda, “sesungguhnya seseorang apabila utang dan berkata, maka ia berdusta, dan apabila berjanji, maka ia mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397).
[Baca Juga: HALAL! Ini Ragam Jenis Usaha yang Dianjurkan Islam ]
Pembayaran utang adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh peminjam (mu’ir). Dalam hal ini tentunya mu’ir harus benar-benar mempunyai niat baik serta keyakinan untuk menunaikan pembayaran atas utang tersebut. Berikut adalah firman Allah tentang pembayaran utang:
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas- batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Muzammil ayat 20)
Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Peminjam juga mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan utangnya sesuai dengan perjanjian pada awal terjadinya utang piutang. Peminjam (mu’ir) mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan perjanjian utang piutang seperti pada ayat Al-Qur’an berikut ini:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa, dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra‟ ayat 34)
[Baca Juga: TTS: Menyikapi Utang Orang Tua dalam Islam (Plus Cara Mengatasinya) ]
Faktor Terjadinya Utang Piutang
Ada tiga penyebab utama terjadinya utang piutang yaitu:
#1 Under Earning
Ini terjadi karena penghasilan terlalu kecil dibandingkan kebutuhan sehari-hari. Jika kamu mengalami hal ini, baiknya untuk menambah penghasilan. Jika kebingungan bagaimana caranya, Finansialku menyediakan online course gratis dengan topik Income Breakthrough yang akan bantu kamu membuat strategi menambah penghasilan. Kamu cukup sign up/login menggunakan akun Finansialku pada laman course.finansialku.com.
#2 Over Spending
Boros merupakan gaya hidup seseorang di mana mereka yang memiliki penghasilan yang cukup tapi pengeluarannya pun cukup besar. Penghasilannya mungkin akan menutupi kebutuhan hidupnya, tapi mereka bisa mengontrol keinginan pribadinya yang begitu besar.
[Baca Juga: Pandangan Islam Terhadap Investasi Syariah yang Sebenarnya ]
Jika kamu mengalami masalah boros, bisa mencoba mencatat pemasukan dan pengeluaran selama satu bulan penuh dan review kembali di bulan berikutnya. Dengan mentrack mana akun yang paling membengkak dari anggaran yang kamu buat, kamu bisa menentukan strategi selanjutnya. Untuk memudahkan proses tersebut, kamu bisa menggunakan fitur pencatatan dan anggaran di aplikasi Finansialku. Jika ada yang ingin kamu tanyakan lebih lengkap juga bisa langsung konsultasi dengan live chat CFP Finansialku.
#3 Un-Expected
Biasanya terjadi karena kecelakaan dan sesuatu yang diduga-duga. Seperti halnya tertipu orang, terkena musibah dan lain-lain sehingga mereka terpaksa berutang karena harus menanggung kerugian. Oleh karena itu, jangan lupa untuk selalu siapkan dana darurat dan proteksi berupa asuransi agar meminimalisir utang.
Itulah pengertian utang piutang dan dasar hukumnya. Jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman dan saudara kamu, agar mereka tahu apa yang kamu ketahui. Berikan juga kometar kamu di kolom komentar yang disediakan.
Editor: Julius Fallen
Sumber Referensi:
- Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
- Shaleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta:Gema Insani, 2005)
- Gemala Dewi, SH.,LL.M, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2007)
- Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Sumber Gambar:
- Cover – https://bit.ly/3kFPAGI
dilema besar