Ekonomi Outlook Indonesia 2021: Optimisme di Tengah Ketidakpastian

Ekonomi Outlook Indonesia 2021: Optimisme di Tengah Ketidakpastian

Bagaimanakah ekonomi outlook Indonesia 2021 ini? Untuk Anda yang bergerak di bidang ekonomi sepertinya Anda butuh untuk membaca artikel ini sampai selesai.

Selamat membaca.

 

Rubrik Finansialku

Rubrik Finansialku Lifestyle (rev)

 

Ekonomi vs Pandemi

Tren persebaran Covid-19 di beberapa negara mulai mengindikasi ke arah penurunan, sehingga hal ini menumbuhkan optimisme pemulihan ekonomi akan dimulai tahun 2021.

Meskipun berakhirnya pandemi ini sulit dipastikan. Tentunya pemulihan ini didukung dengan berbagai stimulus ekonomi melalui kebijakan fiskal maupun moneter.

Pemulihan ini diharapkan juga akan terjadi di Indonesia seiring dengan membaiknya perekonomian global.

Struktur pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada permintaan domestik menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara yang lebih rendah terkena ancaman resesi global.

Dengan demikian, pemulihan pertumbuhan untuk kembali pada level pra-Covid akan lebih cepat.

Melihat tren pertumbuhan periode 2015-2019 yang berada pada keseimbangan baru yaitu 5,03 persen, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan dapat kembali pada kisaran 4,9-5,1 persen di tahun 2021.

Ekonomi Outlook Indonesia 2021 Optimisme di Tengah Ketidakpastian 01 - Finansialku

[Baca Juga: Inilah Dampak Krisis Ekonomi Global Terhadap Berbagai Sektor]

 

Tren inflasi sepanjang tahun 2018-2019 berada di kisaran angka yang rendah yaitu 2,9 persen. Di kuartal I 2020, inflasi tetap bertahan dikisaran yang rendah, maka diperkirakan tren ini akan terus berlanjut hingga 2021.

Diperkirakan inflasi tahun 2021 dapat kembali terjaga di kisaran rendah dan stabil. Meskipun demikian, inflasi yang terus rendah perlu diwaspadai adanya penurunan pemintaan, sehingga kebijakan perlu merespon perkembangan tersebut.

Kinerja perdagangan yang surplus pada kuartal 1 ditengah wabah pandemi Covid-19 membawa optimisme ketahanan eksternal yang baik di tahun 2021.

Atas kondisi tersebut, neraca berjalan terhadap PDB pada tahun 2021 dapat dijaga kisaran rendah. Nilai tukar rupiah fluktuatif di masa pandemi dan bergerak menguat hingga Mei 2020.

 

Ekonomi Outlook Indonesia 2021

Ekonomi outlook Indonesia 2021 diperkirakan kembali menguat, didukung faktor fundamental yang terjaga. Terutama dikarenakan inflasi terjaga rendah dan membaiknya neraca perdagangan Kebijakan moneter yang akomodatif perlu berlanjut di tahun 2021

Sebagai langkah awal dalam meningkatkan kembali gairah perekonomian. Melalui kebijakan moneter ini diharapkan pertumbuhan ekonomi yang baik, stabilitas harga yang terjaga serta keseimbangan neraca pembayaran yang positif dapat tercapai di tahun 2021.

Kebijakan fiskal 2021 yang disusun harus memperkuat daya tahan ekonomi nasional yang mampu mengatasi berbagai risiko yang muncul sekaligus melindungi ekonomi negara dari gejolak dan ketidakpastian ekonomi global.

Termasuk akibat bencana non alam seperti merebaknya virus Corona.

Tahun 2021 harus menjadi momentum dalam melaksanakan pemulihan sosial ekonomi dan meningkatkan fundamental ekonomi melalui reformasi kebijakan fiskal maupun moneternya.

Optimisme peningkatan ekonomi global di tahun 2020 berubah setelah mewabahnya Corona virus disease– 19 (Covid-19) sejak awal tahun ini.

Dalam kurun waktu 5 bulan, secara global penderita Covid-19 sudah mencapai lebih dari 5.400.000 jiwa dengan total meninggal melebihi 340.000 jiwa.

Episentrum persebaran Covid-19 yang awalnya di Tiongkok bergeser ke Amerika Serikat dan Eropa.

Adapun 10 negara yang saat ini mengalami kasus terbesar yaitu Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Spanyol, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Turki, dan Iran.

Amerika Serikat kini mengalami kondisi terparah akibat Covid-19 ini dimana kasus yang positif sudah mencapai lebih dari 1.600.000 jiwa atau 30 persen kasus Covid-19 secara global.

Sementara itu, Tiongkok kini mulai memulih dan posisinya turun ke posisi 14. [Worldmeter, Data Per 24 Mei 2020]

Hingga memasuki kuartal II Tahun 2020, kondisi global semakin diselimuti ketidakpastian. IMF menyatakan bahwa saat ini dunia mengalami krisis yang tidak biasa, belum pernah dalam sejarah IMF menyaksikan perekonomian global mengalami stagnansi seperti ini (WEF, 2020).

Stagnansi tersebut tercermin pada Global Purchasing Managers Index (PMI) yang tercatat sangat rendah di bulan April 2020.

Hal ini menunjukkan pesimisnya pelaku bisnis terhadap prospek ekonomi, yang menandakan berbagai sektor ekonomi mengalami kontraksi.

Ekonomi Outlook Indonesia 2021 Optimisme di Tengah Ketidakpastian 02 - Finansialku

[Baca Juga: Dampak Mobil Listrik Terhadap Perekonomian Republik Indonesia]

 

Penurunan indeks PMI yang terjadi secara global di triwulan I 2020 tak terlepas dari terganggunya rantai pasokan global karena tertahannya aktivitas produksi di beberapa negara.

Secara umum, pandemi covid-19 menekan kinerja perekonomian melalui 3 jalur yaitu perdagangan (ekspor-impor), investasi dan permintaan.

Perdagangan global menurun pada laju yang cukup cepat akibat pandemi ini. Volume perdagangan global barang turun 2,6 persen pada Februari 2020.

Sementara itu, dibandingkan dengan bulan sebelumnya, perdagangan global turun 1,5 persen. Akibat penurunan aktivitas perdagangan tersebut berdampak pada harga komoditas yang mengalami penurunan.

Penurunan tersebut terjadi di hampir semua komoditas termasuk pertanian, logam, minyak bumi dan batubara. Bahkan harga minyak dunia tercatat mengalami penurunan yang sangat tajam sejak awal tahun 2020.

Kondisi ini ditengarai akibat tidak tercapainya kesepakatan antara OPEC dengan Rusia untuk memperdalam kebijakan pengurangan produksi yang bertujuan untuk menopang harga.

Anjloknya harga minyak akan terancam terus berlanjut seiring belum dikendalikannya penyebaran Covid-19.

Pandemi Covid-19 turut meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan dan pengembalian modal ke aset keuangan yang dianggap aman.

Di mana penyebaran Covid-19 ini telah memicu terjadinya aliran modal keluar di seluruh negara, terutama dialami negara berkembang yang mengalami peningkatan resiko.

IMF (2020) mencatat aliran portofolio ke pasar negara berkembang telah mengalami pembalikan yang sangat tajam.

Aliran keluar portofolio non-residen dari pasar negara berkembang mencapai tingkat rekor tertinggi dalam dolar yaitu lebih dari USD100 miliar sejak 21 Januari (IMF 2020).

Terlihat bahwa aliran investasi terhadap PDB di kuartal pertama tahun 2020 tercatat terendah dibandingkan beberapa krisis keuangan tahun 2008 dan taper tantrum 2013.

Dalam mengantisipasi kondisi yang semakin memburuk, beberapa negara telah bertindak cepat dengan mengeluarkan berbagai kebijakan ultra akomodatif yang diharapkan dapat mengurangi dampak ekonomi yang semakin parah.

Di antaranya, The Federal Reserves (the Fed) dan Bank of Canada telah menurunkan suku bunga kebijakan hingga 150 bps sejak awal 2019, demikian pula sebagian besar negara maju dan berkembang juga menurunkan suku bunga kebijakan.

Selain itu, pelonggaran moneter juga dilakukan sejumlah bank sentral melalui Quantitative Easing (QE) secara masif.

The Fed melakukan QE melalui pembelian US Treasury (UST) dan Mortgage Backed Securities serta Municipal Bonds dan bond yang lebih berisiko hingga USD2,3 triliun atau sekitar 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) AS.

Tentunya kebijakan pelonggaran moneter tersebut harus didukung oleh berbagai kebijakan stimulus fiskal agar berdampak pada perekonomian khususnya sektor riil.

Beberapa peneliti memperkirakan pandemi ini akan usai di semester II tahun 2020 dengan dukungan pembatasan mobilisasi di berbagai negara.

Seiring berakhirnya pandemi ini, maka aktivitas ekonomi akan berjalan normal kembali.

Dengan pemulihan tersebut serta didukung kebijakan fiskal dan moneter maka beberapa lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di tahun 2021 dapat melaju dengan baik.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi cepat mengalami pemulihan bila ditopang oleh struktur ekonomi yang berorientasi domestik.

Namun pemulihan ini perlu direspon oleh kebijakan penanganan Covid-19 yang efektif. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017-2019 berada di angka 5,08 persen.

Hampir semua komponen pengeluaran PDB menunjukkan tren perlambatan sejak kuartal IV 2018 terutama untuk ekspor barang dan jasa.

Kinerja ekspor tercatat mengalami kontraksi cukup dalam sejak memasuki kuartal I 2019 yaitu negatif 1,87 persen dan terus menunjukkan penurunan hingga kuartal IV 2019.

Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergerak di kisaran 5 persen karena 58 persen PDB Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih bergerak dikisaran 5 persen meskipun sempat mengalami perlambatan di kuartal IV 2019 yaitu 4,97 persen.

PMTB yang menyumbang 32 persen terhadap PDB juga menunjukkan tren perlambatan sejak triwulan akhir 2018.

Memasuki kuartal I 2019, PMTB hanya mampu tumbuh 5,03 persen dimana angka ini jauh lebih kecil pada periode yang sama tahun 2018 yang mencapai 7,94 persen.

Kondisi ini terus terjadi hingga kuartal IV 2019 dimana PMTB turun drastis hingga 4,06 persen (yoy). Memasuki tahun 2020, pertumbuhan ekonomi semakin terpukul akibat terganggunya aktivitas ekonomi oleh merebaknya Covid-19.

Ternyata dampak Covid-19 sudah langsung dirasakan di kuartal I meskipun kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) belum dilaksanakan di beberapa provinsi.

Hal ini menandakan Indonesia akan menghadapi tekanan perekonomian yang cukup berat mengingat di kuartal II pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih rendah karena semakin meluasnya Covid-19 dan PSBB sudah diberlakukan.

Adapun komponen yang paling terdampak ialah konsumsi rumah tangga yang hanya mampu tumbuh 2,84 persen serta PMTB yang hanya tumbuh 1,7 persen.

Ekonomi Outlook Indonesia 2021 Optimisme di Tengah Ketidakpastian 03 - Finansialku

[Baca Juga: Memperkuat Keuangan di Tahun 2021: Pelatihan Bersama Warta Ekonomi dan Herstory]

 

Sementara itu kinerja ekspor impor masih rendah di angka 0,24 persen namun lebih baik di banding tahun 2019 yang sempat menunjukkan pertumbuhan negatif.

Pengeluaran pemerintah justru menjadi penopang pertumbuhan dengan tumbuh 3,74 persen. Bila dilihat dari lapangan usaha, hampir semua sektor di tahun 2019 mengalami perlambatan terutama pada sektor yang terkait dengan eskpor dan impor serta investasi.

Industri pengolahan yang menopang kinerja PDB sebesar 19 persen tumbuh melambat di tahun 2019 yaitu hanya 3,8 persen seiring dengan prospek ekspor yang menurun dan melambatnya investasi.

Begitu juga dua sektor terbesar lainnya yaitu sektor perdagangan dan pertanian yang menunjukkan tren melambat di tahun 2019.

Sementara itu, sektor yang mengalami laju pertumbuhan yang tinggi yaitu sektor jasa keuangan dan informasi dan komunikasi.

Untuk sektor industri, dapat dipastikan sektor ini akan mengalami goncangan yang lebih dalam akibat pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020.

Begitu juga dengan sektor konstruksi yang melambat seiring dengan melemahnya investasi. Di tahun 2020 ini dipastikan sebagian besar sektor ekonomi mengalami perlambatan.

Hal ini tak terlepas dari menurunnya permintaan dan pembatasan mobilisasi masyarakat dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19.

Terlihat bahwa pada kuartal I 2020 hampir semua sektor ekonomi terutama penyumbang PDB terbesar mengalami perlambatan yang cukup drastis.

Pertumbuhan sektor industri pengolahan pada kuartal I 2020 ini hanya 2,06 persen, perdagangan besar dan eceran turun hingga 0,02 persen serta pertanian hanya tumbuh 1,6 persen.

Sementara itu sektor ekonomi yang melaju cukup tinggi di tengah pandemi ini yaitu setor jasa keuangan serta informasi dan komunikasi.

Morgan Stanley (2020) meramalkan Indonesia bisa cepat keluar dari krisis karena perekonomian Indonesia lebih berorientasi domestik dan minimnya eksposur terhadap rantai pasok global.

 

banner -pengelolaan keuangan pribadi dan bisnis

 

Adapun Morgen Stanley mengelompokkan Indonesia, India, dan Filipina pada kelompok negara kedua atau terkena dampak resesi yang lebih rendah berkat pertumbuhan struktural yang tinggi.

Di mana Tiongkok masuk kelompok pertama. Deretan negara ini dinilai dapat kembali ke level pra-Covid-19 setelah Tiongkok.

Namun, menurut asumsi Morgan Stanley, kondisi ini dapat tercapai apabila pandemi ini tidak semakin parah pada akhir kuartal II 2020.

Adapun beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pemulihan ini tidak terhambat yaitu keefektifan pemerintah dalam merespon situasi pandemi dan peluang dalam mengambil pelonggaran kebijakan yang tepat.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut serta melihat tren pertumbuhan pra Covid-19 dari tahun 2015-2019 di mana ekonomi Indonesia tumbuh pada keseimbangan baru yaitu 5,03 persen.

Maka diperkirakan di tahun 2021 Indonesia dapat kembali pulih pada keseimbangan tersebut dikisaran pertumbuhan 4,9-5,1 persen.

Pemulihan ini didukung oleh struktur ekonomi Indonesia yang lebih berorientasi pada permintaan domestik.

Kisaran tersebut akan dapat tercapai apabila persebaran wabah Covid-19 mulai menunjukkan penurunan di kuartal II dan membaik di kuartal III.

Adapun, OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 di kisaran 5,1 persen. ADB memproyeksi ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5 persen di tahun 2021.

World Bank memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dikisaran 5,2 persen. Bahkan IMF dalam Laporan World Economic Outlook April 2020 memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen.

Inflasi diperkirakan tetap terjaga rendah, namun perlu diwaspadai adanya penurunan daya beli. Sepanjang tahun 2018 hingga April 2020, inflasi tetap terjaga rendah dalam mendukung stabilitas perekonomian.

Adapun rata-rata inflasi tahun 2018-2019 tercatat di level 2,9 persen. Memasuki tahun 2020 inflasi masih dikisaran rendah.

Ekonomi Outlook Indonesia 2021 Optimisme di Tengah Ketidakpastian 04 - Finansialku

[Baca Juga: Komoditi Pertanian dan Pengaruhnya Pada Ekonomi Indonesia]

 

Adapun hingga di bulan April inflasi tercatat 0,08 pesen (mtm) atau 2,67 persen (yoy). Rendahnya inflasi di masa pandemi ini mengindikasi bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berdampak pada rendahnya permintaan.

Sehingga inflasi selalu berada di angka yang rendah. Ditambah, pemberlakukan PSBB yang dimulai sejak 10 April 2020, maka akan semakin menurunkan tingkat konsumsi masyarakat.

Nilai tukar fluktuatif di masa pandemi diperkirakan bergerak membaik di tahun 2021 didukung faktor fundamental rupiah yang terjaga.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan pasar keuangan nasional bergejolak. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mencatat aliran modal keluar yang sangat tinggi mencapai Rp145,28 triliun pada periode Januari-Maret.

Di mana angka ini lebih dari dua kali lipat pada saat terjadi guncangan krisis global.

Saat krisis finansial 2008, arus modal asing yang keluar dari Indonesia mencapai 69,9 triliun rupiah dan saat krisis taper tantrum 2013, capital outflow tercatat 36 triliun rupiah.

Kepanikan di pasar turut meningkatkan arus fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Di awal tahun nilai tukar sempat menguat di level Rp 13.600/USD namun setelahnya mengalami depresiasi hingga menyentuh level Rp 16.600/USD per 23 Maret 2020.

Memasuki pertengahan April, rupiah kembali bergerak menguat. Hingga memasuki Mei, nilai tukar rupiah sempat menguat ke level Rp14.900/USD, yang menunjukkan memulihnya kepercayaan investor terhadap pasar domestik.

Fluktuasi pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek (harian) tersebut dipengaruhi oleh faktor teknikal (sentimen) positif maupun negatif.

Adapun sentimen positif yang mempengaruhinya tak terlepas dari langkah pemerintah dalam penanganan Covid-19 melalui stimulus fiskal dan moneter.

Sementara itu dari faktor eksternal, mulai kembali bergeraknya roda aktivitas ekonomi di beberapa negara seiring pelonggaran kebijakan lockdown, turut menjadi faktor sentimen positif bagi rupiah.

Sementara itu, beberapa sentimen negatif yang dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu ketegangan hubungan antara AS dan Tiongkok.

Dilihat dari faktor fundamentalnya, nilai tukar rupiah diperkirakan akan menguat di akhir tahun 2020 yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya;

  • Inflasi yang rendah dan terkendali,
  • Defisit transaksi berjalan yang terjaga rendah serta
  • Tingkat imbal hasil investasi yang menarik di mana yield tenor 10 tahun hingga bulan Mei 2020 sebesar 8,02 persen.

Oleh karena itu, seiring dengan membaiknya kondisi global dan berbagai upaya yang dilakukan otoritas moneter dalam menjaga fundamental nilai tukar di tengah ketidakpastian global, maka diprediksikan pergerakan kurs akan lebih baik dan stabil pada tahun 2021.

 

Itulah penjelasan bagaimana perkiraan ekonomi outlook Indonesia 2021 di masa pandemi yang masih menyerang ini. Bagaimana perkiraan ekonomi outlook Indonesia 2021 menurut Anda? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah ini.

Semoga artikel dapat memberi manfaat bagi Anda.  Jangan lupa bagikan artikel ini pada Sobat Finansialku lainnya, terima kasih.

 

 

Sumber Referensi:

  • Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. 2020. Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2021: “Optimisme Penguatan Fundamental Ekonomi Di Tengah Ketidakpastian. Berkas.DPR.go.id – https://bit.ly/36HUFH1

 

Sumber Gambar:

  • Ekonomi 1 – http://bit.ly/3pXEZG2
  • Ekonomi 2 – http://bit.ly/2Mxhfv2
  • Ekonomi 3 – http://bit.ly/3sq4S39
  • Ekonomi 4 – http://bit.ly/3dK24d3

dilema besar