Bagaimana distribusi kekayaan dalam Islam? Simak ulasannya dalam artikel Finansialku berikut!
Rubrik Finansialku
Distribusi Kekayaan Dalam Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkankesejahteran masyarakat sesuai dengan syariat.
Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya.
Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkekurangan).
[Baca Juga: Arti Islamic Financial Planning dan Implementasinya]
Dilansir dari Muslimah News, Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Sebagai buktinya, banyak sekali ayat Alquran dan al-Hadis yang memerintahkan manusia menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89.
Alquran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (al-Dzariyat [51]:19).
Rasulullah juga memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak peduli nasib orang miskin dan kelaparan. Rasulullah:
“Tidak beriman kepadaKu, seseorang yang tidur malam hari dalam keadaan kenyang, sementara dia mengetahui tetangganya kelaparan.”
Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
كَيْ لاَ يَكُوْنُ دُوْلَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS al-Hasyr [59]: 7).
Mekanisme Pasar dan Non-pasar
Secara umum, ada dua mekanisme distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, mekanisme pasar. Yakni mekanisme yang dihasilkan dari proses tukar-menukar dari para pemilik barang dan jasa. Mekanisme ini diterangkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS al-Nisa’ [4]: 29).
Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menetapkan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Berbagai tindakan yang dapat mengakibatkan deviasi harga dan merugikan para pelaku jual-beli dilarang.
Islam melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga dan merugikan masyarakat.
Demikian pula penimbunan emas dan perak atau alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Tindakan itu diharamkan Islam (QS al-Taubah [9]: 34).
Sebagai alat tukar (medium of exchange) antara harta satu dengan harta lainnya, antara harta dengan tenaga, dan antara tenaga satu dengan harta lainnya, uang memiliki kedudukan amat strategis.
Karenanya jika uang itu ditarik dari pasar dan tidak diperoleh manusia, maka tidak akan berlangsung pertukaran, dan roda ekonomi pun akan terhenti.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah dikategorikan sebagai kezaliman sehingga tidak boleh dikerjakan.
Pematokan harga jelas merusak kaidah ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pembeli dan penjual. Harga tidak terlahir dari kesepakatan dan kerelaan pembeli dan penjual, namun oleh pihak lain.
Padahal, merekalah yang paling tahu berapa seharusnya berapa harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Tidak mengherankan jika kebijakan pematokan harga ini rawan memunculkan ‘pasar gelap atau ilegal’.
Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (al-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi harga.
[Baca Juga: 3 Etika Bisnis Rasulullah Ini Bisa Bawa Berkah dan Keuntungan]
Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Seorang pembeli bersedia membeli harga mahal jika komoditasnya bagi. Sebaliknya, dia hanya mau membeli barang yang buruk dengan murah.
Akibat praktik al-tadlîs – yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas; serta menampakkannya seolah-olah baik – membuat pembeli tertipu. Barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya karena ketidaktahuan pembeli.
Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfaatkan ketidaktahuan lawan transaksinya dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.
Berbagai hukum Islam tersebut jika dipraktikkan akan menciptakan pasar yang benar-benar bersih. Kompetisi yang sehat dan fair akan mewarnai mekanisme pasar.
Para produsen dan penjual yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi dan menjual barang yang benar-benar berkualitas. Bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menuntut pemerintah mematok tinggi harga barangnya.
Pentingnya Distribusi Kekayaan
Seperti yang dilansir dari laman kompasiana, distribusi kekayaan dalam masa sekarang ini merupakan suatu masalah yang sangat penting dan rumit dilihat dari keadilannya dan pemecahannya yang tepat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh masyarakat.
Tidak diragukan lagi bahwa pendapatan sangat penting dan perlu akan tetapi yang lebih penting lagi adalah cara distribusinya. Islam sangat melarang penimbunan kekayaan pribadi saja.
Karena akan berakibat banyak masyarakat yang akan menderita kemiskinan dan banyak kekayaan yang tidak bias dinikmati oleh masyarakat diluar oleh karena itu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan masyarakat dalam bekerja (hasil produksi) itu sendiri.
Tetapi juga pada distribusi pendapatan yang tepat.
Download Sekarang! Ebook PERENCANAAN KEUANGAN Untuk USIA 30-an, GRATIS!
Tujuan Distribusi Kekayaan
Dalam Islam, terdapat beberapa tujuan dari distribusi kekayaan, antara lain:
- Membangun keadilan,
- Membersihkan jiwa dan harta
- Mengembangkan kekayaan.
Dalam membangun keadilan Islam mengajarkan bahwa kekayaan yang diberikan Allah SWT adalah hendaknya terdistribusikan kepada umatnya secara adil, agar terjadi kesamaan kesejahteraan dalam kehidupan umat Islam, sesuai dengan An-Nisa ayat 58: ‘
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruhkamu apabila menetapkan hokum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadaMu.”
Sedangkan dalam Membersihkan jiwa dan harta di dunia, Ketenangan hidup sangat dibutuhkan seseorang yang ingin memiliki nilai hidup yang tinggi. Dimilikinya jumlah kekayaan yang banyak belum dapat menjadi jaminan seseorang akan merasa bahagia dalam hidupnya.
Sebaliknya sulit sekali seseorang dapat hidup dengan ketenangan hati kalau kecukupan kekayaan menjadi salah satu masih didera kemiskinan akibatnya tidak atau kurang memiliki kekayaan yang cukup untuk membiayai hidupnya.
Karena ketenangan hati seseorang dapat diperoleh dalam kecukupan kekayaannya bilamana kekayaan yang dimiliki sudah bersih dari hak-hak orang lain yang ada didalam kekayaan tersebut.
Lalu dalam mengembangkan kekayaan. Islam memberikan ajaran tentang arti pengembangan kekayaan dari dua sisi baik dari sisi spiritual atau pun dari sisi ekonomi.
Dilihat dari sisi spiritual maka pengembangan kekayaan seseorang dapat dilakukan melalui pendistribusian yang berhak sebagaimana tertuang dalam Q.S Al-Baqarah ayat 271.
Zakat Adalah Salah Satu Solusi Distribusi Kekayaan
Zakat adalah salah satu solusi yang diberikan Islam untuk mendistribusikan kekayaan, agar kekayaan seorang tidak hanya berputar dalam satu orang saja namun bisa bermanfaat untuk orang lain.
Sesuai dengan pengertiannya, zakat adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan seginya).
Dari segi bahasa, zakat berarti suci, bersih, subur, berkat dan berkembang. Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.
Zakat itu tidak hanya zakat fitrah, zakat maal yang terdiri zakat harta perniagaan, zakat emas, perak dan uang simpanan, zakat hasil pertanian, zakat binatang ternak, zakat hasil tambang, zakat barang temuan, zakat aset, zakat saham dan obligasi dan zakat profesi.
[Baca Juga: Kisah Sukses Abu Bakar Ash Siddiq, Sahabat Rasulullah Terkaya]
Sayangnya, di Indonesia sendiri masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi, dalam pengelolaan zakat, diantaranya Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas.
Karena pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun lebih memilih untuk berkarier di sector keuangan seperti asuransi atau perbankan.
Maka dari itu dibutuhkannya strategi-strategi dalam pengelolaan zakat. Salah satu cara atau strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat, antara lain sebagai berikut:
Membudayakan Kebiasaan Masyarakat Dalam Membayar Zakat
Untuk membangun kebiasaan ini, perlu dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-tokoh agama atau bisa dengan cara memasang iklan di media massa baik cetak maupun elektronik.
Memberi Pemahaman Kepada Pelajar
Bagi para pelajar, perlu dibiasakan untuk mau menyisihkan sebagian rezekinya untuk berbagai dengan sesama. Yang kedua adalah Penghimpunan zakat dengan cara jemput bola.
Penghimpunan Zakat Dengan Cara Jemput Bola
Saat ini amil harus mau untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, strategi yang dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan mendekati para muzaki agar mau menyisihkan sebagian dana untuk sesama.
Perluasan Bentuk Penyaluran
Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan oleh lembaga pengelolaan zakat masjid atau tradisional harus diubah agar bentuk penyaluran yang mampu menjadikan manusia tersebut mandiri dan tidak tergantung kepada pihak lain.
Peningkatan Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu persyaratan agar suatu lembaga amil zakat untuk semakin berkembang dan mampu mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna kemaslahatan umat.
Dengan demikian maka pendistribusian zakat kepada fakir miskin dapat terealisasikan sehingga dapat bermanfaat untuk umat yang membutuhkan sehingga terciptanya keadilan sosial.
Tuliskan tanggapan dan komentar Anda pada kolom yang tersedia di bawah ini!
Anda juga dapat membagikan setiap artikel dari Finansialku kepada rekan atau kenalan yang membutuhkan!
Sumber Referensi:
- Course Hero. Pengertian dan Prinsip Distribusi Kekayaan. Coursehero.com – https://bit.ly/3n6q3VZ
- Danik Sri Mulyani. 30 Agustus 2017. Distribusi Kekayaan Dalam Islam. Kompasiana.com – https://bit.ly/3cMzncQ
dilema besar